3/08/2009

Generasi yang Jinak

Dulu, ketika republik ini masih Babinsa, masih Klompencapir, dan untuk menjadi pejabat harus melewati Litsus, sebagian dari kita mungkin membayangkan, bagaimana rasanya hidup di negara yang menjamin kebebasan.
Masa-masa itu, ketika hidup menjadi rutin dan hambar; ketika Pemilu tak ada harap cemas menanti penghitungan, ketika menteri selalu Harmoko, ketika P4 dan GBHN, di layar TVRI dengan takjub kita melihat dunia luar; ada presiden yang dipilih langsung, ada parlemen yang berdebat, ada orang berdemonstrasi, ada warna-warni.
Kita membayangkan, bagaimana rasanya hidup di negara yang menjamin demokrasi, sebab betapa mahalnya kebebasan. Ketika itu, seseorang bisa tiba-tiba hilang dan tak ada polisi yang mencari. Seseorang yang mungkin wartawan, aktifis mahasiswa, aktifis buruh, bisa tiba-tiba mati, dan tak ada yang perlu mencari tahu mengapa mati. Ketika itu, kata “demokrasi” harus diucapkan dengan bibir setengah berbisik, dan kata “suksesi” harus benar-benar diucapkan berbisik.
Kita berangan-angan bagaimana suasana hidup seperti dunia luar yang kita pandang dengan takjub itu. Saat dimana anak-anak muda yang giat menyuarakan kebenaran sudah keluar dari persembunyiannya. Saat dimana menteri yang Harmoko, gubernur yang Harmoko, camat yang Harmoko, sudah pulang kandang berganti para pemimpin baru. Alangkah indahnya negeri yang dipimpin para satria piningit, dimana yang benar diunggulkan, yang jahat disingkirkan, yang palsu diacuhkan.
Kita, harap-harap cemas menantikan zaman perubahan itu, yang akhirnya datang juga.
Kita melihat gedung MPR-DPR diduduki mahasiswa dan presiden lengser keprabon, kita mendapati apa yang pernah dibayangkan; demokrasi dikibarkan dan kebebasan dicanangkan.
Namun, setelah lebih satu dasawarsa kita hidup di zaman perubahan ini, takjubkah kita dibuatnya?
“Misteri” demokrasi yang pernah dinanti bertahun-tahun itu, rupanya kini sudah menampakkan wajahnya. Wajah para satria piningit itu, di situasi kiwari itu bernama: Calon Legislatif (Caleg)
Apakah Caleg? Ia adalah, orang dalam pasfoto yang berwajah tembam, ada yang menatap kosong, ada yang tersenyum tanpa maksud, ada yang jumawa tanpa maksud. Beribu-ribu gambar Caleg, mencegat dan menteror kita di setiap gang, di pinggir jalan. Gambar-gambar Caleg itu membuntuti kemanapun kita pergi, seakan melambai-lambai, tapi lebih banyak mematung dengan kata-kata yang bisu: “Mohon doa restu & dukungannya.”
Inikah yang kita nantikan itu? “Demokrasi” yang dulu pernah begitu asing dan mahal, kini datang kepada kita seperti seseorang yang tidak kita mengerti. Sosok itu tidak jahat, mungkin. Tapi sungguh menjengkelkan, karena bukan ini yang kita maksud. Kita tak membayangkan demokrasi justru melahirkan orang-orang yang latah, bahkan dalam takaran tertentu; seragam.
Lihatlah, hampir seluruh potensi anak-anak bangsa ini tersedot oleh sebuah hajat besar; Pemilu. Kelatahan bersima-harajalela, mulai akademisi, pengusaha, teknokrat, filosof, sibuk berbaris ikut Pemilu. Apatah lagi politisi. Mereka yang tak ambil bagian, mungkin artis atau tokoh karang taruna, ibarat “pacar ketinggalan kereta”. Pemilu telah menyeragamkan yang beda, yang punya warna.
Partai politik bak metromini Manggarai-Pasar Minggu, sesak berdesak-desakan. Orang-orang sibuk berebut posisi daftar pemilihan. Kini tak penting lagi bagaimana ideologi partai itu, apakah nasionalis, religius, kerakyatan, semuanya sama rata sama rasa. Satu-satunya beda yang tersisa adalah “nama”, tapi apakah arti sebuah nama? Sebab jika kelak orang Partai sama-sama duduk di gedung DPR, baik dari partai sekular atau agama, sama-sama rakus merayah anggaran negara. Lidah bisa bohong, tapi rasa tak pernah bohong.
Sehingga jamak, jika ada seorang Dai Sejuta Umat yang dahulu adalah aktifis partai A, kini mendirikan partai B. Tapi besok ia kembali ke partai A, namun lusa ia pindah ke partai C. Dan bingung-kah “Sejuta Umat” sang Da’i? Tentu tidak.
Parpol di Indonesia adalah contoh yang paling sempurna, bagaimana politik seharusnya dipelakukan dengan santai, bila perlu dibumbui senda-gurau sambil meng-hirup hangatnya kopi Toraja. Parpol adalah sebenar-benarnya bidak catur, siapa maju, siapa mundur, siapa kalah dan menang, adalah soal permainan. Bahkan, kalaupun ada Parpol yang kalah dan mati lantaran tak memenuhi standar perole-han suara pada Pemilu, ia bisa dihidupkan kembali, cukup dengan menambah kata diujung namanya, mungkin dengan kata “Indonesia” atau “Sejahtera”, seperti halnya mengubah ujung nomor undian buntut. Begitu renyahnya partai politik, seperti ayam goreng siap saji, dimana tidak ada lagi “pedas” yang menggelegak, yang minta tenaga untuk disuarakan dan diperjuangkan. Pada “ayam goreng parpol” ini, tak ada lagi jiwa yang guyah-lemah, gentar oleh keadaan, karena hidup adalah soal camilan.
Wajar, jika ada pertengkaran sesama pengurus partai, bisa diselesaikan dengan menyulap partai baru.
Dan alangkah banyaknya partai sulapan di negeri ini. Ada Parpol sulapan pengusaha, sulapan politisi, sulapan tokoh. Dan layaknya barang sulapan, parpol hadir tanpa perlu ada sebab.
Parpol sulapan akhirnya menyusun Caleg sulapan, Caleg yang datang tiba-tiba tanpa perlu ada sebab.
Caleg di Indonesia adalah contoh yang paling sempurna, bagaimana perburuan menjadi wakil rakyat adalah perburuan tanpa sumpah tanpa tuah. Karena itu jika akhir-akhir ini anda kerap tertawa sendiri melihat polah-tingkah gambar Caleg, memang demikianlah kenyataan politik di negeri ini.
Meski, bukan Caleg benar yang menusuk kalbu, karena sudah seperti suratan takdir jika profesi politik selalu membutuhkan sejumput kebanalan dan sekerat kebebalan.
Tapi yang menyedihkan, adalah anak-anak muda, tokoh-tokoh revolusioner berpikiran maju dan para perawat daya hidup, yang terperosok ke dalam lubang politik.
Mereka, yang selama ini kita andalkan menjadi prajurit penjaga malam, perawat kejernihan dan daya kritis masyarat, sudah menjadi generasi yang terjinakkan.
Mereka yang gagal berdamai dengan diri sendiri, kini sudah alih profesi menjadi penjahit baju Caleg, tukang hitung ketenaran Caleg. Bahkan, mereka pula yang mengajarkan cara membual yang elegan.
Mereka sudah sibuk bergaul dengan Caleg, sibuk mengintip-intip kemung-kinan jika si jago menang, memantas-mantas diri depan cermin jika sewaktu-waktu dipanggil untuk menjadi tukang komisaris instansi pengumpul uang negara dan abdi dalemnya.
Alangkah apes zaman ini, kemanakah generasi Soekarno belia yang lantang bicara “Indonesia Menggugat”? Hatta dan Sjahrir yang gemati merawat? Tan Malaka yang keliling kampung menyalakan obor? Mochtar Lubis yang membongkar? WS Rendra yang mendobrak? Yap Thiam Hien yang tak terlumpuhkan? Munir yang benci rasa takut? Kemanakah?
Kemanakah generasi baru kita yang lulusan perguruan tinggi prestise luar negeri?
Kini, tembok luar kekuasaan menjadi sepi. Tak ada lagi orang yang sesekali berteriak, atau sibuk bercengkerama menemani pejalan kaki.
Selamat pagi, Bung Harmoko?[] Selengkapnya...