Sebelas fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) barangkali tidak akan berlalu begitu saja karena ini menyangkut persoalan fundamental keberagamaan kita. Bagi penganut Islam puritan, fatwa tersebut adalah momentum kebangkitan Islam di Indonesia. MUI sesudah periode Buya Hamka yang dianggap macan ompong, kini menunjukkan gigi dengan berani bersikap tegas dalam memurnikan ajaran Islam.
MUI kini berani bertindak terhadap berbagai macam aliran sesat, seperti ajaran Ahmadiyah, sinkretisme agama, serta pemahaman sekulerisme-liberalisme Islam.
Sebab itu, beberapa kelompok Islam menunjukkan dukungan atas fatwa MUI tersebut, termasuk berjihad jika harus berhadapan dengan mereka yang mencoba menghalang-halangi.
Sementara pendukung liberalisme baik yang tergabung Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun tidak, kini menjadi sorotan. Sebab, nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Ulil Abshar-Abdalla, dianggap telah melakukan ghazwul fikri (penyesatan pikiran) terhadap umat Islam, melalui pemahaman agama yang dipengaruhi filsafat dan logika Barat. Terutama ide sekularisme yang memisahkan antara agama dan negara, menjadi ajaran yang menghalangi tegaknya syariat Islam.
Padahal selama ini kelompok-kelompok seperti Lembaga Dakwah Kampus, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, serta sebagian golongan di Partai Keadilan Sejahtera, secara organisasi terus berupaya menegakkan syariat Islam. Bahkan, umumnya bercita-cita tegaknya daulat Islamiah dengan berdirinya kekhalifahan Islam.
Di sisi lain bagi kaum Islam liberal, 11 fatwa MUI menjadi momentum yang menandai kemunduran Islam beberapa abad ke masa silam. Islam kembali ke zaman feodalisme, di mana terdapat otoritas dan hegemoni suatu kelompok atas kelompok yang lain. Fatwa ini juga dianggap sebagai pemicu kekerasan agama, terhadap golongan-golongan yang dianggap sesat. Termasuk juga mementahkan upaya dialog antarumat beragama.
Terlepas apakah kita termasuk golongan puritan atau pun liberal, saya berpendapat umat Islam perlu melakukan gerakan apresiasi antargolongan. Apresiasi ini adalah upaya mengenal dan memahami orang lain yang dianggap berbeda. Setidaknya hal ini yang dipesankan Alquran, Allah menciptakan kita berbeda-beda agar saling mengenal satu sama lain.
Apresiasi ini penting, sebab selama ini banyak golongan muslim yang menilai golongan lain, tanpa berdasarkan pengetahuan yang memadai terhadap golongan tersebut, serta tanpa berdasarkan pembacaan atas realitas yang lebih jernih. Sehingga pendapat yang dimunculkan sering penuh pretensi, kecurigaan, daripada pendapat yang lahir dari suasana dialogis yang jernih.
Keengganan mengapresiasi dan berdialog, memang sering dituduhkan kepada Islam puritan dan revivalis. Padahal kaum liberalis juga kerap menggunakan cara-cara yang emosional dan tidak dialogis. Mereka menyebarkan ajaran Islam yang inklusif dan plural, tapi menempatkan diri sebagai kelompok yang tercerahkan, dan menempatkan kelompok lain sebagai golongan bodoh yang harus digurui. Komentar Ulil Abshar-Abdalla yang menyatakan fatwa MUI adalah bodoh, idiot, dan tolol, merupakan pernyataan yang menyinggung perasaan, serta merusak upaya dialog yang notabene menjadi perjuangannya selama ini.
Sebagai orang yang meminati ide kebebasan berpikir, pendapat saya di bawah ini tentu sangat dipengaruhi sudut pandang liberalisme. Menurut saya, ada beberapa pandangan kaum puritan terhadap penganut liberalisme yang kurang akurat dan perlu dikaji ulang.
"Kurang akurat" yang saya maksud bukan berarti membenarkan ide liberalisme, melainkan memahami dengan jernih apa dan bagaimana landasan berpikir penganut ide tersebut. Serta memahami bagaimana cara mereka memandang dan menafsirkan Alquran. Sehingga perbedaan pendapat dapat lebih bermanfaat dibandingkan sikap saling cemooh yang tidak berguna.
Selain itu tak kalah penting, kita juga perlu menilai realitas secara akurat seperti aspek kesejarahan. Stereotip Barat di mata kita selama ini adalah masyarakat satu dimensi, yaitu masyarakat Yahudi dan Kristen yang selalu memusuhi Islam.
Sehingga segala macam produk pemikiran dari Barat selalu dianggap sebagai bentuk westernisasi. Studi-studi Islam di Barat adalah praktek orientalisme, yaitu mengkaji Islam untuk kemudian melemahkan Islam sendiri. Padahal selama ini, banyak pemikir dan sarjana studi Islam di Barat, yang pemikirannya terhadap Islam layak untuk diapresiasi, sebut saja Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hassan Hanafi, dan sebagainya.
Amat disayangkan jika karya-karya mereka tidak dihargai, hanya karena sebuah stereotip. Meskipun hal serupa juga dilakukan sebagian masyarakat Barat terhadap Islam. Edward Said dalam bukunya Covering Islam, juga mengkritik pandangan media-media Barat terhadap Islam, yang hanya menilai Islam sebagai agama bagi negara-negara terbelakang, penuh kekerasan dan kebencian.
Selain itu seharusnya, kita tidak hanya perlu mengapresiasi karya-karya yang ditulis pemikir muslim, tetapi juga pemikir lain yang banyak memberi sumbangsih terhadap peradaban dunia. Misalnya, karya-karya Karl Marx yang dapat memperkaya pandangan kita memahami relasi antara buruh dan kapitalisme.
Atau karya-karya filsuf Prancis seperti J.J. Reuseau, yang memberi sumbangsih tentang sistem pemerintahan yang demokratis. Kita membutuhkan ilmu bantu lain yang tidak hanya bersumber dari Islam, untuk menata hubungan muamalah. Dan, saya kurang sependapat karya pemikiran para filosof adalah tagut. Sebab, ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ibadah yang bersifat suci dan personal.
Saya pribadi sangat prihatin terhadap Majalah Sabili, media yang menjadi rujukan sebagian besar aktivis dakwah kampus. Dengan mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme, Sabili adalah majalah yang paling rajin memberikan stereotip, menilai, bahkan mengadili golongan-golongan yang tidak sepaham. Ketika PDIP memenangi Pemilu 1999, Sabili menulis jika kemenangan itu adalah bagian kemenangan sekularisme yang dipelopori Nurcholish Madjid.
Bahkan pada ilustrasinya, ada gambar Nurcholish Madjid dalam terali besi. Ini adalah logika otak, atik, gathuk, yang membodohkan. Disayangkan jika mahasiswa yang notabene insan ilmiah dan kritis, masih mengonsumsi media yang ditulis dengan cara berpikir yang sempit ini.
Saya juga menyayangkan pandangan sebagian besar umat Islam terhadap Islam liberal, yang sering dinilai tidak akurat. Liberalisme Islam seolah hanya dipandang sebagai cara beragama yang bebas dan tidak mau terikat aturan. Pengikut pemikiran liberal enggan mengikuti kaidah dan syariah agama, sehingga enggan menjalankan ibadah seperti salat, puasa atau haji.
Pemikiran liberal juga dianggap hanya mendewakan akal dan tidak mau mengikuti hukum Tuhan. Sehingga penganut liberalisme harus bertobat, karena telah musyrik. Ini adalah pandangan yang menurut saya tidak mendalam. Memang, penggunaan istilah "liberal" terasa asing dan menakutkan. Padahal istilah tersebut hanyalah penanda, dan tidak substansial.
"Tulang" dari ide Islam liberal adalah yang pandangan menempatkan Tuhan setinggi-tingginya, dam semua makhluk Tuhan serendah-rendahnya. Tuhan satu-satunya yang sakral, di luar Tuhan adalah profan (fana). Manusia adalah makluk yang sangat tidak berdaya. Sehingga manusia harus menyembah Tuhannya sebagaimana makhluk dengan penciptanya. Ibadah adalah suci, personal, dan satu-satunya yang dinilai adalah keihlasan dan kepasrahan diri, inna akromakum indallahi atqaakum (sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa).
Namun, agar kehidupan manusia berakhlak dan maslahat, manusia diberikan agama agar kehidupannya tidak kacau. Manusia dianugerahi akal. Dengan akal, Tuhan menyuruh manusia berpikir, seperti Tuhan kerap berfirman afala ta'qiluun (apakah kamu tidak berpikir) atau afala ta'lamuun (apakah kamu tidak mengetahui). Namun sekuat-kuatnya berpikir, manusia tidak akan pernah mendapat kebenaran yang sejati.
Sebab, kebenaran sejati hanyalah milik Tuhan. Tafsiran manusia terhadap Alquran, tidak akan sampai menyentuh hakikat Tuhan, itulah sebabnya manusia tidak boleh menyatakan pendapatnya yang paling benar. Apalagi sampai memaksakan pendapatnya kepada yang lain.
Dengan kata lain, batas maksimum manusia hanya bisa berucap, pendapat saya dan yang mau meyakininya adalah benar, pendapat yang lain urusan Tuhan. Sebab, toh yang paling penting bagi manusia bukanlah sudah mendapatkan kebenaran atau tidak, tetapi perjuangan terus-menerus dengan ikhlas untuk menggapai kebenaran.
Itulah sebabnya Allah memulai wahyunya dengan iqra, bacalah. Iqra adalah kata kerja, sebuah proses. Bahkan Alquran sendiri turun dengan proses, bukan kitab yang sekali jadi. Malah ada kondisi interaktif antara Nabi Muhammad saw. dan pengikutnya, seperti ayat-ayat yang dimulai dengan kata yasalunaka...(kamu bertanya).
Rasulullah saw. juga menghargai proses, menghargai karya peradaban manusia. Ketika Islam turun, Islam tidaklah serta-merta membuang peradaban sebelumnya. Islam justru melanjutkan peradaban, dengan memasukkan nilai-nilai tauhid. Seperti salat, puasa, dan haji yang sebelumnya sudah menjadi tradisi masyarakat kafir Quraish, Islam lalu menyambungkan tradisi tersebut dengan akidah.
Kita kembali ke soal kebenaran. Sebagian golongan mengatakan, bukankah kebenaran itu sudah ada melalui hukum-hukum Tuhan yang tertuang dalam Alquran. Dan manusia tinggal menjalankan saja. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar atau salah. Persoalannya, adakah manusia yang sanggup menjamin ia paling mengetahui hukum-hukum Tuhan melalui penafsirannya terhadap Alquran.
Bukankah manusia memiliki keterbatasan akal yang sama. Sehingga wajar jika pada masa-masa awal sesudah Rasul, terjadi perpecahan pada umat Islam. Perpecahan ini tidaklah perlu dipandang sebagai kemunduran umat Islam, sebab memang demikianlah hakikat manusia yang penuh keterbatasan.
Pendukung Islam liberal memercayai peradaban harus terus berlanjut dan manusia tidak boleh berhenti berpikir menemukan kebenaran. Seperti pendapat Fazlur Rahman yang mengutip pandangan Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah, Islam adalah agama yang dinamis.
Asal-usul Islam bukanlah tradisi yang tidak berubah, tetapi penafsiran kembali, inovasi, dan pembaruan. Janganlah kita menyerah, kebenaran sudah didapat ulama-ulama terdahulu dan kita tinggal mengikuti. Bahwa peradaban Islam masa lalu selalu lebih baik, dan masa kini pasti buruk. Misalnya tentang kekhalifahan Islam. Sebagian kita meyakini sistem politik terbaik umat Islam adalah kekhalifahan.
Padahal, dalam Alquran tidak terdapat anjuran demikian. Bahkan, Tuhan menyatakan antum ta'lamun umuri dunyakum (kamu lebih tahu urusan duniamu). Kekhalifahan Islam ada karena memang demikianlah sistem pemerintahan zaman pertengahan, seperti halnya dinasti atau kerajaan. Barangkali lain ceritanya jika pada masa itu sudah berkembang sistem pemerintahan negara bangsa.
Demikian pula dengan syariat. Kita menganggap hukum potong tangan, cambuk, dan rajam adalah hukuman terbaik. Padahal pada masa Rasul, tradisinya memang belum mengenal adanya lembaga pemasyarakatan. Sehingga umat Islam perlu berinovasi dengan mencari cara menghukum yang lebih bermanfaat. Seperti halnya dengan perbudakan, Alquran tidak menghapuskan karena sudah menjadi tradisi masa itu. Namun, mungkinkah kini kita mempraktekkan perbudakan?
Melakukan inovasi beragama dengan menggunakan akal, bukan berarti mendewakan akal. Sebab, kewajiban manusia untuk berpikir dengan akal yang dianugerahkan kepadanya. Bahkan, Rasul menyuruh kita untuk belajar sampai ke negeri Cina, tanpa khawatir di sana kelak akan tumbuh sosialisme-komunisme.
Pada akhirnya, menurut saya, apa pun aliran dan bagaimana kita berpikir tentang Islam, yang mendasar adalah bagaimana kita beribadah dengan jiwa yang benar-benar ikhlas dan berserah diri. Serta bagaimana kita menjalankan hubungan muamalah ini dengan maslahat, serta tidak membuat kerugian dan kerusakan di muka bumi. Wallahualam bisshawab.
Sekuat-kuatnya berpikir, manusia tidak akan pernah mendapat kebenaran sejati. Sebab, kebenaran sejati hanya milik Tuhan. Tafsiran manusia terhadap Alquran, tidak akan sampai menyentuh hakikat Tuhan, itulah sebabnya manusia tidak boleh menyatakan pendapatnya yang paling benar.
Selengkapnya...