1/04/2011

Ketika Amuk Tak Ada Lagi



Pasang surut kehidupan masyarakat Tionghoa di Makassar


Pada awalnya Ariansyah, 29 Tahun, hanya dikontrak untuk menjadi penjaga lilin. Di perayaan Cap Go Meh ia bersama enam temannya bertugas 24 jam menjaga lima puluhan lilin di depan klenteng Xian Ma. Selama satu minggu, lilin yang berdiameter sekitar satu meter dan berharga jutaan rupiah itu memang tidak boleh padam. Kalaupun padam harus dinyalakan kembali. Tapi pembawaan pemuda Makassar yang sopan dan rajin ini rupanya menarik perhatian pengurus klenteng. Bujangan yang akrab dipanggil Anca ini direkrut menjadi pengawai harian, tugasnya bersih-bersih dan menjadi pemandu bagi umat yang ingin sembahyang.

Maklum, Klenteng yang terletak di Jl. Sulawesi, Kota Makassar ini adalah salah satu klenteng terbesar di Indonesia Timur yang tak pernah sepi pengunjung. Klenteng ini memiliki lima lantai yang dihubungkan sebuah lift, tiap-tiap lantai adalah tempat ibadah yang dipadati oleh patung yang mulai berukuran kecil hingga dua kali ukuran manusia.

”Meskipun bukan Cina, saya tidak pernah dibeda-bedakan. Semua pengunjung sopan-sopan,” ujar Anca. Bahkan ia mengaku banyak mengenal ritual dan acara perayaan agama Buddha yang menurutnya sangat njlimet. Anca juga jadi tahu jika tak semua orang Tionghoa mampu berbahasa Mandarin. Umumnya, hanya mereka yang Tionghoa totok dan sudah berumur yang menguasai bahasa itu. Kalaupun masih muda, biasanya karena sekolah bahasa Mandarin yang banyak tersebar di Kota Makassar. Sementara Tionghoa peranakan, yaitu Tionghoa yang garis keturunannya sudah bercampur dengan penduduk lokal, hampir-hampir hanya dibedakan oleh warna kulit dan bentuk mata saja. Sehari-hari mereka berbicara dengan logat Makassar yang kental.

Hwan Chou, 62 tahun, adalah salah Tionghoa peranakan di Makassar. Kakeknya datang dari Kwan Tong, Cina. Jangankan mengunjungi, Hwan Chou hanya sedikit memiliki wawasan tentang daerah itu. Hwan Chou lumayan mengerti bahasa Mandarin, namun tiga anaknya sama sekali tidak. Karena itu ia merasa aneh jika disebut bukan orang Indonesia, ”Saya lahir, besar, cari makan di Makassar,” ujarnya.

Menurut catatan sejarah, orang-orang Tionghoa sudah datang ke Makassar sejak abad ke-15 pada masa Dinasti Tang. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fulien dan Quan Dong. Mulanya mereka datang untuk berdagang karena Makassar saat itu sudah dikenal sebagai kawasan maritim yang menjadi salah satu jalur perdagangan di Asia. Pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa, mereka sudah mulai bermukim di Makassar.

Sebagaimana umumnya perantau Tiongkok yang mengalir ke Asia Tenggara, mereka yang datang ke Makassar juga dominan dari rumpun Hokkian, kebanyakan berprofesi sebagai pedagang dan orang-orang yang menguasai perdagangan. Namun disini juga ada tiga rumpun lain yang cukup besar, yaitu: Hakka, Kanton dan Hainan. Satu sama lain sebenarnya tidak saling mengenal bahasa masing-masing, karena saling berbeda baik struktur kata maupun lafal fonemiknya. Sebab itu pula mereka cenderung berkumpul dengan rumpun masing-masing, termasuk dalam peribadatan. Sehingga dari sekian banyak kelenteng yang tersebar di kota Makassar saat ini, sesungguhnya berbeda-beda menurut rumpun masing-masing। Kecuali klenteng Xian Ma yang memang sengaja di bangun untuk terbuka bagi semua rumpun.



Jumlah warga Tionghoa di Kota Makassar terbilang cukup besar, tapi hingga saat ini sensus penduduk belum memberikan angka yang pasti. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel Bambang Suprijanto mengatakan, pihaknya mengalami kendala mendata warga Tionghoa. Sebab, mereka yang tinggal di Makassar ini sangat tertutup, bukan hanya rumahnya tetapi mereka juga sulit memberikan keterangan saat dimintai keterangan.

Sementara menurut Redaktur Pelaksana Majalah Pecinan Terkini Shaifuddin Bahrum jumlah warga Tionghoa di Makassar sekitar lima persen. Tetapi jumlah itu hampir menguasai sektor-sektor bisnis utama di kota Angin Mammiri ini seperti perdagangan, perbankan, industri, pariwisata hingga konstruksi. Karena itu tak heran jika di sini banyak bertebaran kawasan Pecinan, ini belum termasuk pusat-pusat pertokoan yang juga banyak dikuasai warga Tionghoa.

Bahrum sendiri menampik jika warga Tionghoa di Makassar disebut sangat tertutup dalam urusan hubungan sosial. ”Kalaupun terjadi pengelompokan dalam pergaulan, menurut saya masih wajar dan bisa terjadi di suku apapun. Tapi di sini tingkat partisipasi mereka cukup tinggi,” ujarnya. Redaktur majalah dua mingguan yang mengulas aktifitas warga Tionghoa ini juga mengatakan bahwa tingkat akulturasi antarbudaya di Makassar cukup besar. Sehari-hari, sebagian besar warga Tionghoa bukan hanya menggunakan bahasa Makassar, tetapi juga menghidangkan Coto, Konro, Palu Basa dan makanan khas lainnya. Bahkan menurutnya, warga Tionghoa sendiri saat ini tengah cemas atas keberlangsungan tradisi mereka. Kecemasan ini bukan hanya menurunnya penggunaan bahasa Mandarin oleh generasi kiwari, tetapi juga memudarnya sistem kepercayaan.

”Sekarang ini bisa dihitung berapa jumlah mereka yang benar-benar menguasai dengan baik ajaran Konghucu,” lanjur Bahrum. Uniknya, ada sebagian dari mereka yang justru menganut kepercayaan tradisional masyarakat Bugis, Tolotang. Bahkan ada seorang warga Tionghoa yang kini menjadi Bissu, yaitu pendeta pada komunitas kepercayaan itu.

”Maka jika disini sangat marak apabila berlangsung hari-hari perayaan Tionghoa, sebenarnya justru ekspresi mereka untuk membangkitkan gairah mewariskan tradisi,” paparnya.

Bahrum mengakui bahwa trauma kekerasan terhadap warga Tionghoa memang ada. Kota ini menyimpan sejumlah catatan kelam yang pernah merudung masyarakat Tionghoa, yaitu saat-saat dimana mereka menjadi sasaran amuk massa. Bahkan kata-kata Ganyangi Cinayya yang berarti ”Ganyang Orang Cina”, pernah menjadi ungkapan yang akrab di telinga penduduk। Beberapa peristiwa kerusuhan pernah terjadi dan hampir berpola sama: perbuatan kriminal seorang warga Tionghoa yang berujung tersulutnya kemarahan warga.



Terakhir adalah tahun 2006. Kota Makassar nyaris lumpuh oleh arak-akan massa bersepeda motor. Saat itu ratusan motor memadati jalan-jalan besar yang banyak dihuni pertokoan milik Tionghoa, seperti Jalan Latimojong, Somba Opu dan Botolempangan. Muasalnya, saat itu beredar kabar seorang gadis pembantu asal Sinjai yang meninggal dibunuh seorang Tionghoa. Warga memanas, puluhan mahasiswa memulai demonstrasi dengan arak-arakan motor menuntut pengusutan kasus tersebut. Tapi rupanya situasi menjadi tak terkendali, di jalanan arakan motor membengkak menjadi ratusan. Demontrasi berubah menjadi teriakan: ”Ganyangi Cinayya” yang diwarnai lemparan batu ke toko-toko milik pendududuk Tionghoa. Beruntung, ”Kardus Pandora” tak jadi pecah, aparat dan beberapa tokoh masyarakat dengan sigap menyelamatkan situasi dengan sebuah perjanjian damai. Hingga beberapa hari kemudian suasana kembali normal.

Tetapi yang tak terselamatkan adalah tahun 1980 dan tahun 1997, dua peristiwa ini berujung dengan pembakaran ribuan bangunan dan puluhan orang menjadi korban jiwa. Peristiwa tahun 1980 tersulut kejadian pembunuhan seorang gadis pembantu oleh seorang warga Tinghoa. Ceritanya, seorang pembantu asal Toraja meminta pertanggungjawaban anak majikan yang telah menghamilinya. Malang, sang majikan yang pemilik salah satu toko terbesar di Makassar ketika itu, bukan hanya tak mengabulkan tuntutan pernikahan tapi justru membunuh sang gadis. Sehingga hanya butuh satu hari untuk terjadi kerumunan, pembakaran, pembunuhan dan kengerian seantero kota.

Tahun 1997 menjelang jatuhnya Soeharto peristiwa ini juga kembali terjadi. Lantaran seorang pemuda Tionghoa yang mengalami gangguan jiwa menebas seorang bocah berusia sembilan tahun. Sang bocah yang anak seorang staf di IAIN Alaudin ini tak terselamatkan nyawanya. Berita itu dengan agresif menyebar, amuk massa tak terkendali dan benar-benar diluapkan dengan membunuh dan membakar. Kota Makassar lumpuh.

Peristiwa kekerasan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak awal berdiri Orde Baru. Tahun 1965 ketika terjadi penumpasan besar-besaran terhadap Partai Komunis Indonesia, warga Tionghoa di Makassar juga tak luput dari sasaran. Saat itu terjadi propaganda bahwa orang Tionghoa sangat identik dengan komunis. Maka tak sedikit dari mereka yang ikut pula ’terciduk’ dan tak jelas nasibnya.

Menurut Bahrum, hingga saat ini masih banyak orang-orang tua di Makassar yang menyimpan trauma itu. Walaupun banyak juga diantara mereka tak tak lagi khawatir peristiwa itu akan berulang kembali. ”Itu dulu, sekarang sudah tidak ada lagi. Kita sudah sama-sama,” ujar Hwan Chou।[] Khairul Anom


Selengkapnya...