Korporatokrasi tengah menyandera Indonesia. Jalannya justru dimuluskan oleh para pemimpinnya yang bermental inlander.
Menjelang peringatan 10 tahun reformasi ini, ada sebuah kado yang datang dari Amien Rais. Sang masinis reformasi ini meluncurkan sebuah buku yang berjudul Agenda Mendesak Bangsa; Menyelamatkan Indonesia!
Setelah sekilan lama absen menulis buku, Amien Rais kembali hadir dengan bacaan yang bukan alakadarnya. Sebab setelah membaca buku yang mengulas globalisasi ini, membuat pembacanya seperti terjaga dari tidur di siang bolong; betapa menakutkan kapitalisme global dan betapa pengecut pemimpin bangsa ini.
Terlebih, pengalaman Amien Rais dalam mengungkap sesuatu memang teruji punya taji. Tahun 1997 ia menggugat kejahatan Freeport, hingga penambang emas terbesar di dunia itu menjadi penyumbang pajak urutan pertama, setelah sebelumnya berada diurutan belasan. Tak jauh berselang ia mempelopori gerakan reformasi, yang berujung jatuhnya Soeharto. Maka buku ini seakan menjadi kulminasi kegeramannya kepada para elit penguasa negeri ini, khususnya bagi mereka yang menundukkan diri di bawah korporasi multinasional. Tak heran, jika buku ini tak cuma berjudul provokatif, tetapi juga bertabur kalimat yang meletup-letup, bahkan cenderung vulgar.
Terdiri dari tujuh bab, buku setebal tiga ratusan halaman ini secara runut mengupas fenomena globalisasi, mulai dari teori dan kritik hingga situasi Indonesia kiwari.
Pada bab Globalisasi Makin Layu, Amien mencoba membuka pemaha-man pembaca mengenai globalisasi. Ia memaparkan landasan doktrin dan institusi yang menjadi pilar globalisasi, termasuk bagaimana globalisasi menjadi alat imperialisme bagi negara-negara maju.
Melalui institusi penopang globalisasi yaitu World Bank, IMF, dan WTO, negara kaya memainkan peranannya dalam penetrasi libera-lisasi pasar bagi negara miskin dan berkembang. Dengan agenda perbaikan ekonomi bagi negara-negara yang tengah dilanda krisis, lembaga-lembaga ini banyak berperan dalam mengatur ekonomi dunia, menuju apa yang disebut Konsensus Washington. Sebuah konsensus yang berisi perangkat-perangkat perdagangan bebas, seperti deregulasi pasar, privatisasi, nilai tukar mengam-bang dan sebagainya. Menurut para sponsornya, globalisasi merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan, bahkan menjadi jalan keluar bagi tata dunia baru yang makmur dan indah.
Namun tak butuh waktu lama untuk membuktikan watak asli globalisasi, yang pada dasarnya adalah pengejawantahan imperia-lisme ekonomi. karena nyatanya yang kuatlah yang menjadi penindas bagi yang lemah. Negara kaya tak hanya yang bebas mengeksploitasi negara miskin dan berkembang melalui penyusutan peran negara, namun banyak aturan yang ternyata tidak fair dan hanya menguntungkan negara kaya dan korporasi.
Uniknya, hujatan atas globalisasi kini justru berasal dari orang-orang yang mulanya menjadi kompra-dornya, sebagaimana diulas bab ketiga buku ini yang berjudul Kritik Dari Dalam. Salah satu “orang dalam” yang berbalik arah itu adalah bekas wakil presiden Bank Dunia yang mendapat Nobel ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz. Stiglitz menunjukkan bahwa pasar bebas tak pernah menghasilkan efisiensi karena adanya informasi yang asimetris dari para pelaku pasar. Mereka yang menguasai informasi lah yang akan mengambil keuntungan dari kerugian mereka yang miskin informasi. Sementara “tangan ajaib” yang akan mengatur pasar, menurutnya hanyalah kebohongan belaka. Karena itu, saat berkunjung ke Indonesia pada 2007, Stiglitz mengingatkan agar negara ini keluar dari pemahaman yang keliru tentang globalisasi. Bahkan lebih jauh, ia mendorong Indonesia untuk melakukan nasionalisasi, termasuk kontrak ulang atas sektor pertam-bangan sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin.
Dalam Pax‘Americana di bab empat, buku ini mengulas bagaimana ambisi Amerika Serikat untuk menjadi penguasa dunia. Setelah meme-nangkan perang dunia II dan keruntuhan Uni Soviet, arah kebijakan negara itu adalah menjadi kekuatan tanpa tanding. Meskipun untuk ambisinya, Amerika membutuhkan korban yang tak sedik atas invasinya ke Vietnam, Irak, Afghanistan. Bahkan apa yang dilakukan Amerika dalam pembunuhan acak warga sipil di Iraq, Afghanistan, serta penjara penyiksaan di Abu Ghirab, Guantanamo, dan lainnya, jauh lebih biadab daripada yang dilakukan tentara Nazi Jerman.
Tentu untuk ambisinya itu, Amerika tak mungkin berdiri sendiri. Negara itu telah membonceng globalisasi melalui korporatokrasi, yaitu sebuah sistem besar yang melibatkan korporasi multinasional, politik, militer, perbankan, lembaga keuangan multinasional, media massa, termasuk para intelektual pendukung globalisasi. Korpora-tokrasi inilah yang menakutkan, karena ia menjadi pusaran besar yang akan menyedot pusaran-pusaran kecil di sekelilingnya.
Korporatokrasi ini pula yang saat ini tengah menyandera Indonesia, yang jalannya justru dimuluskan oleh para pemimpinnya yang bermental inlander. Tahun 1967 Freeport Mc Moran mulai beroperasi untuk merampok kekayaan alam di Papua, yang kontrak karyanya terus perbaharui hingga 2041. Tambang ini tak hanya mengakibatkan kejahatan lingkungan, tetapi juga kejahatan kemanusian dengan banyaknya pelanggaran HAM di Papua. Bahkan sebuah yayasan pensiun di Norwegia terpaksa mencabut sahamnya di perusahaan ini karena melihat besarnya kerusakan ekosistem di zona pertambangan tersebut. Namun hingga kini Freeport bagaikan negara dalam negara yang tak tersentuh, karena ia terus mengucurkan jutaan dollar kepada para petinggi politik dan militer. Perampokan SDA ini akan terus berlanjut dengan diserahkannya Blok Cepu kepada Exxon Mobil yang kontraknya hingga 2036.
Saat bangsa ini terus menyerahkan kekayaannya kepada pihak asing, pereko-nomian justru semakin terlilit oleh hutang. Jauh sebelum Konsensus Washington mengatur pereko-nomian global, pereko-nomian Indonesia sudah berada dalam arahan dan supervisi asing melalui IGGI. Soeharto melalui para ekonom-nya yang dikenal dengan Mafia Berkeley, sudah terjangkit virus liberalisasi pasar, yang anehnya terus diwariskan oleh pemerintahan sekarang. Pelan namun pasti penguasaan sumber daya alam mulai jatuh keharibaan asing. Begitu pula dengan aset-aset penting seperti perbankan dan telekomunikasi, sudah banyak yang diprivatisasi. Bahkan untuk tahun 2008 ini, komite privatisasi perusahaan BUMN sudah membuat daftar 44‘BUMN yang siap untuk dijual. Tak heran jika dalam buku ini Amien Rais mengatakan bahwa penguasa dan tokoh-tokoh era pemerintahan SBY saat ini, dalam kebijakan pertambangan, pertanian, pendidikan, kesehatan, perbankan, telah merugikan pemerintah ribuan triliun rupiah. Sehingga, bangsa ini tak membutuhkan waktu yang lama untuk menyaksikan kehancurannya sendiri, akibat para pemimpinnya dapat dibeli dan tunduk kepada raksasa korporatokrasi.
Karena itu sangat tepat jika judul buku ini menegaskan agenda yang mendesak untuk menyelamatkan Indonesia. hal yang paling utama dalam agenda itu menurut Amien Rais adalah tampilnya pemimpin alternatif bagi bangsa ini. Pemimpin alternatif itu diupayakan adalah anak-anak muda yang memiliki mentalitas bebas, merdeka, dan mandiri. Kepemimpinan itu harus mampu mengkampanyekan pentingnya menancapkan kembali kemandirian, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat penuh. Penghujung buku ini, Amien penutup dengan kutipan ungkapan Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey’s end.
Khairul Anom
Selengkapnya...
8/09/2008
Agenda Menghadang Korporatokrasi
Langganan:
Postingan (Atom)