3/16/2008

Ada Bisnis Militer Dibalik DOM Papua

Pola militerisme yang menjadi pendekatan pemerintah atas penyelesaikan masalah di Papua, mengakibatkan derita kemanusiaan yang berkepanjangan di sana. Demikian salah satu tema pembicaraan diskusi publik “Mengungkap Kebenaran: Kasus DOM Papua” yang digelar PBHI di Jakarta Media Center (14/3). Diskusi ini menghadirkan pembicara Dr Pdt. Karel Phill Erari (rohaniawan dan peneliti), Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr Muridan S Widjojo (peneliti LIPI) dan Suryadi Radjab (Sekretaris BPN PBHI).

Phill Erari yang membawakan makalah yang berjudul Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di DOM Papua Pada Masa Pemerintahan Soeharto 1967-1998 ini, memaparkan bahwa aspirasi rakyat Papua untuk merdeka yang menjadi muasal penindasan militer di Papua. Aspirasi yang dicap sebagai separatisme tersebut, dijadikan legitimasi TNI/Polri untuk melakukan pembungkaman fisik seperti penyiksaan (torture), pembunuhan (extra judicial killing), dan tindak pelanggaran HAM berat lainnya. Ia menyebut bahwa seluruh pelanggaran berat HAM di Papua yang melibatkan satuan komando TNI, baik satuan reguler dari Siliwangi, Diponegoro, Brawijaya, Pattimura, maupun satuan non organik seperti RPKAD (Kopasandha, Kopassus) adalah bagian dari strategi pengamanan di Papua untuk memastikan bahwa Papua tidak akan terlepas dari NKRI.

“Soeharto adalah orang yang paling bertanggungjawab, karena ia memberi komando langsung para jenderal yang menjadi operator lapangan,” ujar Phill. Ia juga menyebut, hingga tahun 1998 jumlah korban kekerasan militer di Papua mencapai 100.000 orang. Jumlah ini berdasarkan penelitian Phill yang ditugaskan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Soeharto Komnas HAM pada tahun 2002.

Senada dengan Phill Erari, Muridan Widjojo juga menyebutkan kuatnya pendekatan militeristik di Papua.
“Pemerintah salah langkah dalam memperlakukan Papua. Menghadapi gejolak di sana, pemerintah memilih untuk melumpuhkan daripada merangkul. Karena melumpuhkan memang lebih mudah dan praktis dibanding dengan merangkul yang membutuhkan proses panjang,” papar Muridan. Karena itu, wajar jika yang terekam dalam ingatan masyarakat Papua adalah militer dan polisi yang menjadi ikon kehadiran Indonesia di sana.

Muridan juga menyesalkan paradigma nasionalisme pemerintah yang menurutnya sangat simbolik dan militeristik. Nasionalisme tidak dilihat secara substansial seperti dialog dan rasa saling kepercayaan, tetapi justru dipandang sangat artifisial.

“Apalagi ada perasaan superiority complex pemerintahan Jakarta terhadap masyarakat Papua yang selalu dipandang diskriminatif, seperti terbelakang dan sebagainya. Akibatnya pembangunan di sana gagal, karena paradigma kebijakannya sudah diskriminatif,” lanjut Muridan.

Sementara itu Suryadi Radjab memandang bahwa perebutan sumber daya alam yang menjadi pemicu kekerasan militer di Papua. Pengamatan didasarkan atas adanya pola yang sama di beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam, dimana militerisme menjadi faktor dominan dalam melakukan pengamanan.

“Di Papua itu banyak sekali pihak yang terlibat untuk memerah kekayaan alamnya. Mereka itu mulai dari perusahaan pertambangan multinasional seperti Freeport, sampai pengusaha lokal yang berebut bisnis rangsum untuk tentara. Dan itu semua adalah proyek keamanan. Bahkan ada orang-orang yang justru diuntungkan dengan kekacauan di sana,” ujar Suryadi. Ia juga membenarkan adanya perasaan superior TNI dan Polri yang ditugaskan di Papua. Pelanggaran HAM berat seringkali dipicu oleh perasaan dendam karena merasa diusik superioritasnya.
“Dalam beberapa kasus penyerangan terhadap orang dan institusi militer. TNI atau Brimob itu bukannya berusaha menangkap pelakunya, tapi justru menjadikannya ajang untuk melampiaskan marah kepada penduduk sekitar. Dan saat itulah penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum itu terjadi,” lanjut Suryadi.

Suryadi juga menyesalkan sikap yang berlebihan pemerintah terhadap isu separatisme, yang justru memperburuk situasi di Papua. Pemerintah seharusnya menanggapi aspirasi untuk merdeka dari warga Papua sebagai bagian dari kemerdekaan berpendapat. Termasuk adanya Organisasi Papua Merdeka sebagai bagian dari kemerdekaan berserikat. Hak-hak ini seharusnya dilindungi oleh pemerintah, sepanjang tidak terjadi perbuatan kekerasan dan kriminal.
“Bencana kemanusiaan di Papua seharusnya tidak terjadi jika pemerintah mampu mengelola dan menghormati hak-hak atas kebebasan di Papua,” papar Suryadi.

Sementara itu Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyatakan bahwa Komnas HAM masih terus menyorong penuntasan kasus-kasus HAM berat di Papua, termasuk membantu menguatkan institusi-institusi yang menjadi instrumen penegakan HAM di sana.
“Komnas HAM saat ini masih terus mengawal dituntaskannya kasus Abepura dan Wasior. Kita harap ini akan menjadi pintu masuk penyelesaian kasus-kasus HAM lain di Papua,” terang Ifdhal. (KA).

Tidak ada komentar: