2/08/2008

Soeharto


Akhirnya sampai jua ajal menjemput. Setelah melewati perawatan intensif di RSPP, Minggu, 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia menginjak usia 86 tahun. Selang sehari, ia dimakamkan di tempat yang telah ia persiapkan tiga dekade sebelumnya, Astana Giribangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Hingga diakhir hayatnya, mantan penguasa Orde Baru itu tak punya kesempatan membela diri di depan pengadilan, karena memang tak pernah disidangkan sebagai terdakwa. Dan para korban pelanggaran hak-hak manusia yang berat di masa lalu juga tak punya kesempatan menuntut keadilan atas Soeharto.

Itulah kegagalan pemerintah Yudhoyono-Kalla dengan Kejaksaan Agung yang seharusnya menjalankan tugas penegakan hukum. Dan begitu besar ongkos yang harus dibayar atas kegagalan ini; bukan cuma peluang untuk menguji bahwa semua orang sama di depan hukum, tapi juga kesempatan untuk mendewasakan bangsa ini dengan sejarah yang jujur.

Namun yang menyedihkan, gagalnya Kejaksaan Agung membawa Soeharto ke pengadilan, tak sedikit dicerminkan sebagai aib bagi pemerintah Yudhoyono-Kalla. Pemerintah justru sibuk menyelubungkan diri dalam belasungkawa dan imbauan memaafkan kepada Soeharto. Padahal, menuntut tanggungjawab negara untuk menyelesaikan pelanggaran hak-hak manusia yang berat dan korupsi era Orde Baru, sudah seharusnya ditunaikan. Inilah pertanggungjawaban institusional dimana hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.

Karena itu, kegagalan ini tak boleh terulang lagi. Pengusutan kasus korupsi dan pelanggaran hak-hak manusia masa Orde Baru, harus tetap dilanjutkan. Negara tidak boleh menutup pengusutan ini, karena negara tidak boleh mengakhiri tanggung jawab kejahatan masa lalu hanya pada Soeharto. Padahal kekejaman dan kebrutalan Orde Baru adalah perbuatan kolektif yang melibatkan para loyalis dan kroninya.

Negara harus punya terobosan hukum untuk menuntaskan semua pemyimpangan dan pelanggaran mereka yang menikmati kursi atau jabatan dalam kekuasaan Orde Baru. Negara harus mampu mengembalikan kekayaan yang telah dirampok oleh keluarga dan kroni-kroni Soeharto. Negara harus menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga mereka sebagai akibat pembunuhan dan pemenjaraan dalam kasus 1965, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua, Timor-Timur dan lainnya.

Jika negara mengimbau perlakuan manusiawi atas Soeharto, negara juga harus mampu memperlakukan hal serupa kepada mereka yang dipenjara dan disiksa bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Negara tak boleh bersikap menyangkal sejarah dan kebenarannya. Urusan maaf atau dendam biarkan menjadi kerelaan masing-masing orang di negeri ini. Tugas negara adalah menegakkan hukum.

Jika kita berharap bangsa ini memiliki buku sejarah yang direkonstruksi berdasarkan kebenaran yang nyata, kelak bisa menjadi pelajaran bagi anak-cucu, maka inilah momentum bagi negara untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Namun, bila cermin kekerdilan sebuah bangsa yang ingin kita wariskan, maka sikap pemerintah Yudhoyono-Kalla yang tak pernah melangkah untuk menyelesaikan kejahatan orang-orang yang bertanggung jawab di bawah Orde Baru, sudah tepat adanya. Sudikah kita mewarisi kekerdilan? (Khairul Anom)

Tidak ada komentar: