Korporatokrasi tengah menyandera Indonesia. Jalannya justru dimuluskan oleh para pemimpinnya yang bermental inlander.
Menjelang peringatan 10 tahun reformasi ini, ada sebuah kado yang datang dari Amien Rais. Sang masinis reformasi ini meluncurkan sebuah buku yang berjudul Agenda Mendesak Bangsa; Menyelamatkan Indonesia!
Setelah sekilan lama absen menulis buku, Amien Rais kembali hadir dengan bacaan yang bukan alakadarnya. Sebab setelah membaca buku yang mengulas globalisasi ini, membuat pembacanya seperti terjaga dari tidur di siang bolong; betapa menakutkan kapitalisme global dan betapa pengecut pemimpin bangsa ini.
Terlebih, pengalaman Amien Rais dalam mengungkap sesuatu memang teruji punya taji. Tahun 1997 ia menggugat kejahatan Freeport, hingga penambang emas terbesar di dunia itu menjadi penyumbang pajak urutan pertama, setelah sebelumnya berada diurutan belasan. Tak jauh berselang ia mempelopori gerakan reformasi, yang berujung jatuhnya Soeharto. Maka buku ini seakan menjadi kulminasi kegeramannya kepada para elit penguasa negeri ini, khususnya bagi mereka yang menundukkan diri di bawah korporasi multinasional. Tak heran, jika buku ini tak cuma berjudul provokatif, tetapi juga bertabur kalimat yang meletup-letup, bahkan cenderung vulgar.
Terdiri dari tujuh bab, buku setebal tiga ratusan halaman ini secara runut mengupas fenomena globalisasi, mulai dari teori dan kritik hingga situasi Indonesia kiwari.
Pada bab Globalisasi Makin Layu, Amien mencoba membuka pemaha-man pembaca mengenai globalisasi. Ia memaparkan landasan doktrin dan institusi yang menjadi pilar globalisasi, termasuk bagaimana globalisasi menjadi alat imperialisme bagi negara-negara maju.
Melalui institusi penopang globalisasi yaitu World Bank, IMF, dan WTO, negara kaya memainkan peranannya dalam penetrasi libera-lisasi pasar bagi negara miskin dan berkembang. Dengan agenda perbaikan ekonomi bagi negara-negara yang tengah dilanda krisis, lembaga-lembaga ini banyak berperan dalam mengatur ekonomi dunia, menuju apa yang disebut Konsensus Washington. Sebuah konsensus yang berisi perangkat-perangkat perdagangan bebas, seperti deregulasi pasar, privatisasi, nilai tukar mengam-bang dan sebagainya. Menurut para sponsornya, globalisasi merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan, bahkan menjadi jalan keluar bagi tata dunia baru yang makmur dan indah.
Namun tak butuh waktu lama untuk membuktikan watak asli globalisasi, yang pada dasarnya adalah pengejawantahan imperia-lisme ekonomi. karena nyatanya yang kuatlah yang menjadi penindas bagi yang lemah. Negara kaya tak hanya yang bebas mengeksploitasi negara miskin dan berkembang melalui penyusutan peran negara, namun banyak aturan yang ternyata tidak fair dan hanya menguntungkan negara kaya dan korporasi.
Uniknya, hujatan atas globalisasi kini justru berasal dari orang-orang yang mulanya menjadi kompra-dornya, sebagaimana diulas bab ketiga buku ini yang berjudul Kritik Dari Dalam. Salah satu “orang dalam” yang berbalik arah itu adalah bekas wakil presiden Bank Dunia yang mendapat Nobel ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz. Stiglitz menunjukkan bahwa pasar bebas tak pernah menghasilkan efisiensi karena adanya informasi yang asimetris dari para pelaku pasar. Mereka yang menguasai informasi lah yang akan mengambil keuntungan dari kerugian mereka yang miskin informasi. Sementara “tangan ajaib” yang akan mengatur pasar, menurutnya hanyalah kebohongan belaka. Karena itu, saat berkunjung ke Indonesia pada 2007, Stiglitz mengingatkan agar negara ini keluar dari pemahaman yang keliru tentang globalisasi. Bahkan lebih jauh, ia mendorong Indonesia untuk melakukan nasionalisasi, termasuk kontrak ulang atas sektor pertam-bangan sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin.
Dalam Pax‘Americana di bab empat, buku ini mengulas bagaimana ambisi Amerika Serikat untuk menjadi penguasa dunia. Setelah meme-nangkan perang dunia II dan keruntuhan Uni Soviet, arah kebijakan negara itu adalah menjadi kekuatan tanpa tanding. Meskipun untuk ambisinya, Amerika membutuhkan korban yang tak sedik atas invasinya ke Vietnam, Irak, Afghanistan. Bahkan apa yang dilakukan Amerika dalam pembunuhan acak warga sipil di Iraq, Afghanistan, serta penjara penyiksaan di Abu Ghirab, Guantanamo, dan lainnya, jauh lebih biadab daripada yang dilakukan tentara Nazi Jerman.
Tentu untuk ambisinya itu, Amerika tak mungkin berdiri sendiri. Negara itu telah membonceng globalisasi melalui korporatokrasi, yaitu sebuah sistem besar yang melibatkan korporasi multinasional, politik, militer, perbankan, lembaga keuangan multinasional, media massa, termasuk para intelektual pendukung globalisasi. Korpora-tokrasi inilah yang menakutkan, karena ia menjadi pusaran besar yang akan menyedot pusaran-pusaran kecil di sekelilingnya.
Korporatokrasi ini pula yang saat ini tengah menyandera Indonesia, yang jalannya justru dimuluskan oleh para pemimpinnya yang bermental inlander. Tahun 1967 Freeport Mc Moran mulai beroperasi untuk merampok kekayaan alam di Papua, yang kontrak karyanya terus perbaharui hingga 2041. Tambang ini tak hanya mengakibatkan kejahatan lingkungan, tetapi juga kejahatan kemanusian dengan banyaknya pelanggaran HAM di Papua. Bahkan sebuah yayasan pensiun di Norwegia terpaksa mencabut sahamnya di perusahaan ini karena melihat besarnya kerusakan ekosistem di zona pertambangan tersebut. Namun hingga kini Freeport bagaikan negara dalam negara yang tak tersentuh, karena ia terus mengucurkan jutaan dollar kepada para petinggi politik dan militer. Perampokan SDA ini akan terus berlanjut dengan diserahkannya Blok Cepu kepada Exxon Mobil yang kontraknya hingga 2036.
Saat bangsa ini terus menyerahkan kekayaannya kepada pihak asing, pereko-nomian justru semakin terlilit oleh hutang. Jauh sebelum Konsensus Washington mengatur pereko-nomian global, pereko-nomian Indonesia sudah berada dalam arahan dan supervisi asing melalui IGGI. Soeharto melalui para ekonom-nya yang dikenal dengan Mafia Berkeley, sudah terjangkit virus liberalisasi pasar, yang anehnya terus diwariskan oleh pemerintahan sekarang. Pelan namun pasti penguasaan sumber daya alam mulai jatuh keharibaan asing. Begitu pula dengan aset-aset penting seperti perbankan dan telekomunikasi, sudah banyak yang diprivatisasi. Bahkan untuk tahun 2008 ini, komite privatisasi perusahaan BUMN sudah membuat daftar 44‘BUMN yang siap untuk dijual. Tak heran jika dalam buku ini Amien Rais mengatakan bahwa penguasa dan tokoh-tokoh era pemerintahan SBY saat ini, dalam kebijakan pertambangan, pertanian, pendidikan, kesehatan, perbankan, telah merugikan pemerintah ribuan triliun rupiah. Sehingga, bangsa ini tak membutuhkan waktu yang lama untuk menyaksikan kehancurannya sendiri, akibat para pemimpinnya dapat dibeli dan tunduk kepada raksasa korporatokrasi.
Karena itu sangat tepat jika judul buku ini menegaskan agenda yang mendesak untuk menyelamatkan Indonesia. hal yang paling utama dalam agenda itu menurut Amien Rais adalah tampilnya pemimpin alternatif bagi bangsa ini. Pemimpin alternatif itu diupayakan adalah anak-anak muda yang memiliki mentalitas bebas, merdeka, dan mandiri. Kepemimpinan itu harus mampu mengkampanyekan pentingnya menancapkan kembali kemandirian, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat penuh. Penghujung buku ini, Amien penutup dengan kutipan ungkapan Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey’s end.
Khairul Anom
Selengkapnya...
8/09/2008
Agenda Menghadang Korporatokrasi
3/23/2008
Konsolidasi II Korban: Terus Perjuangkan 8 Amanat Munir
Sebagai organisasi yang bervisi menjadi basis perjuangan bersama lintas sektoral, Komite Rakyat Bangkit Melawan (Korban) terus memperbaiki diri, khususnya sistem keorganisasiannya yang dinilai masih lemah. Kemarin 39 LSM diantaranya ABM, SMI, Kasbi, ARM, SBMI, Bilic, Ikohi, PBHI, Arus Pelangi, hadir dalam rapat konsolidasi II Korban di Pondok Pemuda Cibodas, Bogor (17-20/3). LSM tersebut mewakili berbagai sektor seperti buruh, korban kejahatan 65, pendidikan, perempuan, anak, anti diskriminasi dan lainnya.
Rapat yang berlangsung 3 hari ini mengangendakan pembentukan program dan kepengurusan untuk setahun mendatang. Samuel Gultom dari Yayasan Tifa terpilih sebagai Koordinator Korban, bersanding dengan Sinnal Blegur dari Ikohi sebagai wakilnya.
Korban sendiri awalnya dibentuk melalui pertemuan simpul korban yang diinisiasi oleh Aliansi Solidaritas untuk Munir dan Demokrasi (ASuMsi), awal November tahun lalu. Lebih dari 30 organisasi dan komunitas korban, berkumpul dan berbagi cerita, selama dua hari. Pembicaraan bermuara pada satu hal: upaya penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, memerlukan perjuangan yang sifatnya melampaui batas-batas sektoral dan kelompok.
Kebutuhan untuk membangun gerakan perjuangan HAM dan demokrasi lintas sektoral sesungguhnya sudah lama dirasakan. Bahkan dalam aksi-aksi tertentu, solidaritas lintas-sektor sudah mulai terlihat. Dalam aksi peringatan 3 tahun kematian Munir September 2007 lalu, misalnya, kelompok-kelompok buruh, miskin kota, dan komunitas korban lain ikut berpartisipasi sebagai bentuk solidaritas mereka untuk pengungkapan kematian Munir.
Kendati demikian, umumnya aksi solidaritas lintas-sektor seperti itu sifatnya sporadis dan pendekatannya kasuistis. Penyatuan antara kelompok korban sipil politik (Sipol) dan ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) –mengikuti pola pembagian yang dominan—masih belum sistematis. Situasi ini menjadi dasar, untuk menggagas pertemuan simpul korban lintas-sektor, dengan maksud untuk menawarkan pembangunan gerakan rakyat untuk penegakan HAM dan demokrasi, bersama seluruh simpul gerakan.Wadah bersama ini, kemudian diberi nama Korban. Wadah inilah yang akan menjadi kendaraan bersama untuk perjuangan HAM dan demokrasi ke depan.
Kesepakatan dasar lain dalam pertemuan ini adalah perumusan agenda perjuangan bersama yang disebut “Amanat Munir untuk Perjuangan HAM dan Demokrasi”. Munir dijadikan simbol perjuangan KORBAN karena jasa dan perjuangannya yang tidak mengenal sekat-sekat sektoral dan kelompok. Isi “Amanat Munir” adalah 8 butir tuntutan yang sekaligus mencerminkan setiap sektor, yakni:
Pertama, pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan. Kedua, hak rakyat untuk mendapatkan upah layak nasional serta pekerjaan yang layak dan bermartabat. Ketiga, Kesejahteraan merata dan keadilan yang nyata dengan pemenuhan jaminan sosial
Keempat, stop diskriminasi terhadap kelompok penyandang cacat, LGBT kelompok ras, etnis, dan agama minoritas dan wujudkan masyarakat yang inklusif berdasarkan pengakuan atas hak dan martabat manusia. Kelima, tuntaskan kasus-kasus kekerasan negara masa lalu, hentikan di masa kini dan jangan terulang lagi di masa depan. Keenam, stop kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Ketujuh, hentikan pengekangan kebebasan berekspresi. Kedelapan, tolak pembangunan yang tidak berkeadilan lingkungan
“Amanat Munir”, adalah dokumen Kedelapan, dalam memperjuangkan penegakan HAM di negeri ini. Isi dokumen ini bersifat sangat fleksibel, bisa berubah, sesuai kebutuhan dan perluasan sektor dalam Korban. Saat ini, dokumen inilah yang akan menjadi pegangan dan landasan bergerak Korban dalam memperjuangkan hak rakyat dan keadilan, sepenuhnya. (Khairul Anom)
3/16/2008
Ada Bisnis Militer Dibalik DOM Papua
Pola militerisme yang menjadi pendekatan pemerintah atas penyelesaikan masalah di Papua, mengakibatkan derita kemanusiaan yang berkepanjangan di sana. Demikian salah satu tema pembicaraan diskusi publik “Mengungkap Kebenaran: Kasus DOM Papua” yang digelar PBHI di Jakarta Media Center (14/3). Diskusi ini menghadirkan pembicara Dr Pdt. Karel Phill Erari (rohaniawan dan peneliti), Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), Dr Muridan S Widjojo (peneliti LIPI) dan Suryadi Radjab (Sekretaris BPN PBHI).
Phill Erari yang membawakan makalah yang berjudul Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di DOM Papua Pada Masa Pemerintahan Soeharto 1967-1998 ini, memaparkan bahwa aspirasi rakyat Papua untuk merdeka yang menjadi muasal penindasan militer di Papua. Aspirasi yang dicap sebagai separatisme tersebut, dijadikan legitimasi TNI/Polri untuk melakukan pembungkaman fisik seperti penyiksaan (torture), pembunuhan (extra judicial killing), dan tindak pelanggaran HAM berat lainnya. Ia menyebut bahwa seluruh pelanggaran berat HAM di Papua yang melibatkan satuan komando TNI, baik satuan reguler dari Siliwangi, Diponegoro, Brawijaya, Pattimura, maupun satuan non organik seperti RPKAD (Kopasandha, Kopassus) adalah bagian dari strategi pengamanan di Papua untuk memastikan bahwa Papua tidak akan terlepas dari NKRI.
“Soeharto adalah orang yang paling bertanggungjawab, karena ia memberi komando langsung para jenderal yang menjadi operator lapangan,” ujar Phill. Ia juga menyebut, hingga tahun 1998 jumlah korban kekerasan militer di Papua mencapai 100.000 orang. Jumlah ini berdasarkan penelitian Phill yang ditugaskan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Soeharto Komnas HAM pada tahun 2002.
Senada dengan Phill Erari, Muridan Widjojo juga menyebutkan kuatnya pendekatan militeristik di Papua.
“Pemerintah salah langkah dalam memperlakukan Papua. Menghadapi gejolak di sana, pemerintah memilih untuk melumpuhkan daripada merangkul. Karena melumpuhkan memang lebih mudah dan praktis dibanding dengan merangkul yang membutuhkan proses panjang,” papar Muridan. Karena itu, wajar jika yang terekam dalam ingatan masyarakat Papua adalah militer dan polisi yang menjadi ikon kehadiran Indonesia di sana.
Muridan juga menyesalkan paradigma nasionalisme pemerintah yang menurutnya sangat simbolik dan militeristik. Nasionalisme tidak dilihat secara substansial seperti dialog dan rasa saling kepercayaan, tetapi justru dipandang sangat artifisial.
“Apalagi ada perasaan superiority complex pemerintahan Jakarta terhadap masyarakat Papua yang selalu dipandang diskriminatif, seperti terbelakang dan sebagainya. Akibatnya pembangunan di sana gagal, karena paradigma kebijakannya sudah diskriminatif,” lanjut Muridan.
Sementara itu Suryadi Radjab memandang bahwa perebutan sumber daya alam yang menjadi pemicu kekerasan militer di Papua. Pengamatan didasarkan atas adanya pola yang sama di beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam, dimana militerisme menjadi faktor dominan dalam melakukan pengamanan.
“Di Papua itu banyak sekali pihak yang terlibat untuk memerah kekayaan alamnya. Mereka itu mulai dari perusahaan pertambangan multinasional seperti Freeport, sampai pengusaha lokal yang berebut bisnis rangsum untuk tentara. Dan itu semua adalah proyek keamanan. Bahkan ada orang-orang yang justru diuntungkan dengan kekacauan di sana,” ujar Suryadi. Ia juga membenarkan adanya perasaan superior TNI dan Polri yang ditugaskan di Papua. Pelanggaran HAM berat seringkali dipicu oleh perasaan dendam karena merasa diusik superioritasnya.
“Dalam beberapa kasus penyerangan terhadap orang dan institusi militer. TNI atau Brimob itu bukannya berusaha menangkap pelakunya, tapi justru menjadikannya ajang untuk melampiaskan marah kepada penduduk sekitar. Dan saat itulah penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum itu terjadi,” lanjut Suryadi.
Suryadi juga menyesalkan sikap yang berlebihan pemerintah terhadap isu separatisme, yang justru memperburuk situasi di Papua. Pemerintah seharusnya menanggapi aspirasi untuk merdeka dari warga Papua sebagai bagian dari kemerdekaan berpendapat. Termasuk adanya Organisasi Papua Merdeka sebagai bagian dari kemerdekaan berserikat. Hak-hak ini seharusnya dilindungi oleh pemerintah, sepanjang tidak terjadi perbuatan kekerasan dan kriminal.
“Bencana kemanusiaan di Papua seharusnya tidak terjadi jika pemerintah mampu mengelola dan menghormati hak-hak atas kebebasan di Papua,” papar Suryadi.
Sementara itu Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyatakan bahwa Komnas HAM masih terus menyorong penuntasan kasus-kasus HAM berat di Papua, termasuk membantu menguatkan institusi-institusi yang menjadi instrumen penegakan HAM di sana.
“Komnas HAM saat ini masih terus mengawal dituntaskannya kasus Abepura dan Wasior. Kita harap ini akan menjadi pintu masuk penyelesaian kasus-kasus HAM lain di Papua,” terang Ifdhal. (KA).
Selengkapnya...
2/08/2008
Soeharto
Akhirnya sampai jua ajal menjemput. Setelah melewati perawatan intensif di RSPP, Minggu, 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia menginjak usia 86 tahun. Selang sehari, ia dimakamkan di tempat yang telah ia persiapkan tiga dekade sebelumnya, Astana Giribangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Hingga diakhir hayatnya, mantan penguasa Orde Baru itu tak punya kesempatan membela diri di depan pengadilan, karena memang tak pernah disidangkan sebagai terdakwa. Dan para korban pelanggaran hak-hak manusia yang berat di masa lalu juga tak punya kesempatan menuntut keadilan atas Soeharto.
Itulah kegagalan pemerintah Yudhoyono-Kalla dengan Kejaksaan Agung yang seharusnya menjalankan tugas penegakan hukum. Dan begitu besar ongkos yang harus dibayar atas kegagalan ini; bukan cuma peluang untuk menguji bahwa semua orang sama di depan hukum, tapi juga kesempatan untuk mendewasakan bangsa ini dengan sejarah yang jujur.
Namun yang menyedihkan, gagalnya Kejaksaan Agung membawa Soeharto ke pengadilan, tak sedikit dicerminkan sebagai aib bagi pemerintah Yudhoyono-Kalla. Pemerintah justru sibuk menyelubungkan diri dalam belasungkawa dan imbauan memaafkan kepada Soeharto. Padahal, menuntut tanggungjawab negara untuk menyelesaikan pelanggaran hak-hak manusia yang berat dan korupsi era Orde Baru, sudah seharusnya ditunaikan. Inilah pertanggungjawaban institusional dimana hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.
Karena itu, kegagalan ini tak boleh terulang lagi. Pengusutan kasus korupsi dan pelanggaran hak-hak manusia masa Orde Baru, harus tetap dilanjutkan. Negara tidak boleh menutup pengusutan ini, karena negara tidak boleh mengakhiri tanggung jawab kejahatan masa lalu hanya pada Soeharto. Padahal kekejaman dan kebrutalan Orde Baru adalah perbuatan kolektif yang melibatkan para loyalis dan kroninya.
Negara harus punya terobosan hukum untuk menuntaskan semua pemyimpangan dan pelanggaran mereka yang menikmati kursi atau jabatan dalam kekuasaan Orde Baru. Negara harus mampu mengembalikan kekayaan yang telah dirampok oleh keluarga dan kroni-kroni Soeharto. Negara harus menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga mereka sebagai akibat pembunuhan dan pemenjaraan dalam kasus 1965, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua, Timor-Timur dan lainnya.
Jika negara mengimbau perlakuan manusiawi atas Soeharto, negara juga harus mampu memperlakukan hal serupa kepada mereka yang dipenjara dan disiksa bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Negara tak boleh bersikap menyangkal sejarah dan kebenarannya. Urusan maaf atau dendam biarkan menjadi kerelaan masing-masing orang di negeri ini. Tugas negara adalah menegakkan hukum.
Jika kita berharap bangsa ini memiliki buku sejarah yang direkonstruksi berdasarkan kebenaran yang nyata, kelak bisa menjadi pelajaran bagi anak-cucu, maka inilah momentum bagi negara untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Namun, bila cermin kekerdilan sebuah bangsa yang ingin kita wariskan, maka sikap pemerintah Yudhoyono-Kalla yang tak pernah melangkah untuk menyelesaikan kejahatan orang-orang yang bertanggung jawab di bawah Orde Baru, sudah tepat adanya. Sudikah kita mewarisi kekerdilan? (Khairul Anom)
Selengkapnya...
Everything Is Show!
Kalau ingin belajar toleransi antarumat beragama, antar suku atau antar nation, belajarlah dari jagat hiburan. Yakinlah bahwa ‘ajaran’ hiburan paling tidak ambil pusing dengan soal warna kulit dan kebudayaan. Setidaknya dalam dunia hiburan tidak mengenal perang dingin antara Timur dan Barat. Dulu ketika kita hidup di zaman Soekarno, yang meskipun represif terhadap budaya nekolim Amerika, Koes Bersaudara sudah menyanyikan ngak ngik ngok ala The Beatles.
Sejak TVRI berdiri 1962 hingga menjamurnya televisi partikelir sekarang, tayangan hiburan dari Tangkiwood, Bollywood, sampai Hollywood, semuanya bisa tampil sepanggung dengan damai. Bahkan saling berbagi. Kita dulu ada A Rafiq yang fasih berdendang “dangdut India”, atau kini Warkop Millenium yang suka memajang swimsuit gadis pantai ala Baywacht. Tak ada soal apakah Britney Spears yang sekarang kawin, besok cerai sesuai dengan kebudayaan Timur, semuanya bisa diterima dengan baik oleh dunia hiburan. Termasuk Inul, yang dulu keliling Pasuruan kini keliling dunia. Televisi adalah media yang paling bisa bertoleransi dengan pelbagai macam dunia, termasuk dunia gaib sekalipun, karena Pak Leo dalam Percaya Nggak Percaya bisa mengajak hantu untuk sama-sama menjadi artis. Televisi, siapa yang sanggup membantah jika kotak ajaib itu kini dapat dikatakan semata-mata sebagai panggung hiburan.
Everything is show! Itulah ideologi para televisi kita. Dari tayangan yang memang benar-benar disiapkan sebagai hiburan seperti sinetron, telenovela, konser musik, sampai berita infotainment yang mengulas tuntas kehidupan selebriti. Bahkan tayangan berita kriminal serius semacam Buser atau Patroli, justru menjadi tontonan yang real show karena berdarah-darah menayangkan mayat membusuk di selokan atau penjahat yang tertatih-tatih ditembus timah panas. Siapa bilang nonton maling lebab digebuk massa, atau PSK pontang-panting diuber petugas ketertiban bukan sebuah hiburan? Begitulah hasrat hiburan di televisi yang terkadang menembus batas nilai-nilai. Kalangan agamawan maupun moralis boleh gerah dengan tayangan yang “pusar mainded” atau “darah mainded”. Tapi kalau aspirasi dunia hiburan sudah menghendaki, maka yang berbicara adalah rating, iklan, dan stabilitas modal.
“Lho, inikan tuntutan pemirsa,” begitu kira-kira jawaban produser dan broadcaster yang menjemukan itu, tapi toh mereka “cari makan” juga. Sebab bisa jadi pertaruhan pemilik Production House itu cuma sederhana, kalau tak untung, ya rugi. Ingat kasus sekuel Oh Mama! Oh Papa! (OMOP) yang berjudul Aku, Perempuan, dan Lelaki Itu (1995). Sinetron besutan Aria Kusumadewa itu ditolah tayang oleh pihak Anteve, lantaran cerita dan gambarnya susah dicerna oleh penonton. Sehingga bagi Anteve yang memegang hak siar program OMOP yang diambil dari Majalah Kartini itu, lebih baik kehilangan satu sekuel dari pada kehilangan penonton.
Maka jangan menggunakan terminologi khusnudzan atau suudzan dalam menganalisa tayangan di televisi. Misalnya program ceramah Aa Gym di Istiqlal, atau Krisdayanti berjilbab dalam sinetron ramadan, bukan lantas menjadi kecenderungan religiuitas pemilik televisi. Begitu pula program Srimulat, Wayang Kulit, atau Lenong, tidaklah semata-mata karena ingin mengangkat seni tradisi. Seperti juga dengan sinetron Wali Songo, Sangkuriang, Jaka Tingkir, atau sinetron lain yang bersetting sejarah. Tidaklah itu dibuat sekedar itikad untuk menyelamatkan cerita lokal ansich. Karena ternyata para jawara itu beradu tanding lebih sebagai pendekar mandarin ketimbang jagoan Jawa, yang kalau sudah marah mirip sekali dengan The Crow-nya Mark Dacascos. Yakinlah “niyat ingsun” semua itu tetap kembali pada hitung-hitungan marketing, persoalan laku tidak laku. Kalaupun ada hitung-hitungan lain, itu barangkali sepersekian persen saja.
Maka jangan terlalu “geer” kiranya para moralis kita, ketika 18 Desember 2003 lalu para pengusaha televisi bersepakat membuat Kode Etik Pedoman Perilaku Televisi. Menyikapi banyaknya gugatan masyarakat mengenai tingginya tayangan kekerasan dan pornografi di televisi. Kode Etik itu tidak lebih sebagai urut balsem buat sakit gigi. Seperti yang dikatakan Arswendo Atmowiloto, bahwa segala bentuk larangan atau penghentian atau pemekaran yang tidak memahami karakteristik media massa, akan sia-sia dan berlaku sementara. Maka tak bisa lagi mengukur televisi sekedar dari paradigma etika dan moral atau kalkulasi lain yang “a” kapital. Tak ada urusan apakah “tuyul”itu “syirik”, tapi kalau kebutuhan mata penonton membutuhkan “roh halus”, televisi akan tetap membuat Tuyul & Mbak Yul, Putri Duyung, dan Jinny Oh Jinny. karena tayangan hantu juga ternyata menjadi primadona, baik untuk sinetron yang benar-benar misteri atau sebatas komedi situasi. Tontonan “abrakadabra” pada beberapa sinetron bahkan menduduki rating tinggi.
Terlepas “apa perlunya” tayangan gosip, yang membahas tentang warna yang paling disukai Lulu Tobing, atau apakah Elma Theana bercerai lantaran orang ketiga. Nyatanya “jurnalisme pergunjingan” semacam Chek & Rechek, KISS, Kabar-Kabari, Halo Selebriti masih menjadi tempat penonton untuk memanjakan keingintahuan mereka mengenai bintang idolanya. Seolah banyaknya infomasi kita mengenai sang tokoh, akan membuat kita semakin dekat dengannya. Apalagi jika itu diperkuat dengan gambar atau memakai pelbagai aksesori yang juga dikenakan sang idola. Bahkan bila perlu sesekali penonton diberi kemungkinan “wahyu” bertemu idolanya dalam tayangan Mimpi Kali Yee. Yang seakan-akan para idola itu adalah tokoh imajiner yang hidup di dunia antah-berantah, yang berbaik hati menemui para fansnya.
Walaupun kini ada tayangan yang menggunakan metodologi terbalik, yaitu pemirsa yang menjadi berita. Tonton saja tayangan reality show Katakan Cinta, Harap-Harap Cemas, atau Playboy Kabel.
Memang, dalam paradigma hiburan segala sesuatunya hampir tidak terlalu serius membicarakan : perlu tidak perlu, efisien tidak efisien atau mutu tidak mutu. Karena motifnya juga cuma sederhana : have fun dan bersenang-senang.
Berbeda misalnya dengan kasus TVRI zaman orde baru yang berkesan sangat ideologis itu. Dimana punakawan di Ria Jenaka bisa berceramah soal Pancasila, tayangan Musik Pop Daerah, dan Dari Desa ke Desa. Karena saat itu pemerintah memang bersikap tangan besi untuk yang namanya integrasi bangsa. Terbukti, setelah reformasi datang, televisi negara tersebut nyaris ditinggalkan bersama perginya priyagung penerangan Harmoko.
Televisi punya dunianya sendiri. Berbeda dengan dunia perbankan yang dapat terjadi penurunan suku bunga kredit karena popularitas pemerintahan, atau pemerintahan yang tak populis karena inflasi atau kerusuhan sosial. Televisi nyaris yang paling selamat dari fluktuasi kondisi sosial. Karena matematika mereka jelas, masih adakah peluang kue iklan di Indonesia sanggup menghidupi mereka. Membangun stasiun televisi adalah soal bisnis, entah itu bisnis yang memang menjadi fitrah media massa: informasi, atau sekedar bisnis eksploitasi hiburan. Apapun namanya, pasar iklan kita ternyata masih dianggap subur oleh para investor. Bagi mereka Indonesia yang menginjak akhir dekade 1990-an dengan hanya memiliki 5 stasiun televisi swasta tidaklah cukup. Karenanya pada 2001 lalu para konglomerat itu pun masih ramai-ramai bikin televisi. Kelompok Kompas-Gramedia yang merajai bisnis koran dan buku bikin TV-7. Kelompok Bank Mega bikin Trans TV. Termasuk mantan Menaker Abdul Latief ikut pula bikin Lativi lewat Alatief Corporation. Sementara Bambang Trihatmodjo melalui PT Bimantara bikin Global TV, meskipun sudah mempunyai SCTV dan RCTI. Bisnis anak-anak Pak Harto memang agak sukses di bidang televisi, seperti Tutut yang memiliki TPI. Sebelumnya ada Grup Media Indonesia yang bikin Metro TV. Ini setidaknya membuktikan bahwa pasar iklan memang tidak ada matinya berbagi jatah.
Maka jangan terlalu berharap bahwa orang bikin televisi untuk dipersembahkan kepada publik. Atau untuk memperkaya informasi dan kebudayaan masyarakat penonton kita. Bisnis televisi adalah urusan kapitalnya masing-masing. meskipun setiap televisi sibuk membangun karakter dan mainstremnya, yakinlah bahwa mereka masih mengabdi pada selera pasar yang sebenarnya itu-itu saja. Masih berkutat pada generasi lifestyle semacam MTV, pada tontonan haru-biru “bertangiskan bombay”, atau tayangan “berdarah” dan “berlendir”. Idealisme barangkali masing ada, sepanjang itu tidak berbenturan dengan kalkulasi kapital. Metro TV misalnya, stasiun ini mengklaim sebagai televisi berita pertama di Indonesia dengan segala macam idealismenya. Boleh dikata televisi berlogo kepala burung ini ingin mengikuti jejak Cable News Network (CNN) yang memang legendaris. Stasiun ini seolah hendak melampai publik penonton kita yang urban dan folkculture. Dengan tayangan untuk “kasta berdasi” yang sepertinya butuh berita banget, dengan siaran langsung dan berita on the spot yang serba cepat. Serta nama program yang sangat Americanize dengan tayangan hiburan bertitel Showbiz News, Life in Plaza. Ditambah lagi penyiar beritanya yang meskipun berbahasa Indonesia tapi logatnya Amerika.
Televisi adalah televisi. Bagaimanapun juga adalah sebuah produk kebudayaan. Kalaupun kemudian ada yang beranggapan bahwa kebudayaan di televisi hanya berwajah hiburan yang berkelas rendah (pendapat ini tidak berlaku bagi kaum postmodernisme), begitulah realitasnya.
Veven Sp Wardhana pernah menulis, bahwa sebagai institusi sosial, atau sebagai perangkat sosialisasi tata nilai, atau sebagai apapun, tayangan televisi di negeri ini tak perlu dirumus-rumuskan. Produk budaya televisi ada bukan karena dirumuskan. Dia bakal ada dan lahir. Barangkali tak perlu terlalu sibuk, seberapapun berat kita berfikir, the show must go on![] Khairul Anom
Dalam Lubang Handycam, Tak Ada Anjing
“Ninggalin film tak bermutu lebih gampang,” begitu kata Panji Utama dalam tulisannya “Aha!Gua Bikin Pelem dan Emak pun Menangis” (Lampost/12/1/03). Sebuah pesimisme pemikiran yang mungkin wajar, seusai kita menyaksikan Festival Film Independen (FFI) Yang diadakan KF DKL kemarin. Sebab dari sana hanya tersisa realitas yang mungkin getir: peserta yang cuma 6 film, fasilitas yang tidak profesional, film mentah yang bersuara berisik karena microfon melawan angin, editing yang seolah pakai gunting, film dengan ide antah-berantah, serta ponten yang tak pantas menggunakan juara satu. Sehingga nonton film bukannya terhibur, tapi tersiksa. Terlebih lagi tradisi permissif kita belumlah hilang, dengan bersembunyi dibalik slogan amatiran dan independen, seolah menjadi permaafan bagi sineas Lampung untuk memproduksi karya-karya sampah.
Sesuatu yang jauh panggang dari kayu bakar, apabila kita membandingkan film-film serupa dari komunitas-komunitas film yang tengah menjamur di Jawa, seperti Yogyakarta dan Jakarta.
Tonton saja film Storyboard yang memenangkan FVII 2001 lalu, meskipun hanya berdurasi 20 menit, film ini mampu membangun ketegangan bahkan dimenit pertama. Bukan film Lampung, yang kata Panji membutuhkan kesabaran hingga menit terakhir.
Terlebih lagi apabila bicara soal intensitas karya, cukup dengan bermodal VCD atau S-VHS Player, proyektor, dan layar putih, mereka rajin menggelar pertunjukan dari satu hall ke hall yang lain. Meskipun dengan fasilitas – berangkat dari yang ada-, mereka mampu menjual ide mencerdaskan dan semangat berkesenian yang sesung-guhnya.
Namun menyimak pesimisme Panji, perlu juga mungkin kita menyimak diskusi sastra dengan para Penyair Ujung Pulau yang juga diadakan Lampung Art Festival. Yaitu ketika seorang penyair bertanya, mengapa para penyair dibebani oleh ruang yang begitu berat : tentang nasionalisme, tentang otensitas karya, tentang otonomisasi puisi dan sebagainya.
Maka apa pula dosanya jika sineas indie Lampung juga bertanya : mengapa anak-anak yang baru memahami handycam, belajar mengenali betacam, gagap dengan Adobe Premiere, harus juga di bebani dengan ide demikian berat. Mengapa kita harus disodori pemikiran ruwet. Bukannya malah bertanya, setelah orang sekian lama, kok kita baru sekarang berkarya?, entah kalau pertanyaan ini pun ternyata bagian dari tradisi permisif kita yang menyebalkan itu.
Tapi toh, kalau kita mau mengurai asal-usulnya, nama film independen sendiri sesungguhnya tidak seserius pelembagaan mainstream film yang kita pikirkan selama ini. Karena di Barat sana, film-film semacam ini pada mulanya hanya disebut sebagai “Cine Anthuciast” atau “Cine Hobbyst”, yaitu sekelompok anak-anak muda yang kebetulan suka mengutak-atik kamera. Mereka membuat cerita, tokoh, dan merekamnya secara sederhana. Yang hobi ini kemudian menjamur, sehingga banyak anak-anak muda membuat kelompok amatieur filmakers, yang tak terasa dilembagakan sebagai film independen. Pun itu tidak lebih sebagai pemuas napsu artistik, atau paling banter penunjukkan eksistensi dan identitas diri saja.
Meski kemudian bagi mereka yang sudah bisa membuat major moution picture, mulai berpikir tentang perlawanan terhadap studio-studio besar, ini adalah fenomena ideologis saja. Tapi bahwa kata dasarnya : ”Ya udah, bikin-bikin ajah!” ini yang harus kita perhatikan. Jadi kenapa harus berpikir ruwet? Toh bikin film tidak harus pakai seluloid seperti jaman Oom-Tante kita dulu, yang bahan bakunya ditimbang secara kalengan.
Terlepas dari sampah tidaknya produksi film Lampung kita, percayalah, bahwa dizaman global yang coca-cola ini, ada semangat berkreatifitas dengan orisinalitas nilai yang patut kita hargai. Setidaknya untuk menghibur ketika orang bertanya, bahwa ditengah booming film, sinetron, dan iklan sekarang ini, tak ada jaminan bagi ruang-ruang publik kita untuk lebih berbudaya.
Ketika TVRI menayangkan Isadora, tak terasa sudah 18 tahun keluarga kita telah menjadi telenovela. Dan 18 tahun pula barangkali kita tak berubah tema, kecuali gadis miskin tapi cantik yang selalu di sia-sia, sehingga hadir sang pangeran dari keluarga kaya yang datang menolongnya. Diakui atau tidak, tayangan telenovela telah membuat satu pergeseran dan disorganisasi sosial dari keluarga kita. Citra keluarga tradisional mulai terbunuh, setidaknya ketika ibu menyusui dan menyisir rambut anaknya telah tergantikan dengan babysitter dan omplong susu. Orang-orang kaya yang selingkuh, mertua pendendam, rumah besar yang penuh derai air mata - karena kegagalan cinta, membuat kehidupan tidak lagi menjadi subtil, dan harmonisasi suami istri tak lagi sakral. Demikian pula dengan citra modernitas yang disimbolkan begitu verbal, misalnya dengan slogan : pakailah celana ini atau makanlah ini, dan anda akan jadi Amerika!
Maka wajar menyikapi anomali sosial semacam ini, anak-anak muda dengan keyakinan idealisme mereka mencoba meneriakkan kata-kata Wiji Thukul : “Hanya ada satu kata, lawan!” Dan bergerilyalah filmaker yang penting bikin itu dengan film-film pendeknya. Dan di kampus-kampus mereka bisa menunjukkan kepada mahasiswa lain, bahwa untuk menikmati sesuatu yang berselera, tidak harus mengunjungi bioskop 21. tapi bisa disini, 30 menit saja. Bahkan di Amerika sana ada kecenderungan sama walau dengan takaran dan motif yang berbeda, yaitu yang disebut New America Cinema, sebuah bentuk perlawanan terhadap studio-studio besar yang dikuasai oleh Hollywood.
Oh Film, Oh Pasar
Mengusung idealisme dalam film mungkin ada pahitnya, setidaknya bagi Aria Kusumadewa. beberapa tahun lalu sinetronnya Antara Aku, Kau, dan Laki-Laki Itu, yang menjadi sekuel program Oh Mama Oh Papa harus terdepak dari ANTEVE, lantaran film itu dianggap terlalu absurd. Sehingga membahayakan bagi mata penonton fanatik mereka, yang pada akhirnya berbahaya pula bagi stabilitas iklan. Penonton dianggap tidak cukup cerdas untuk mencerna kata-kata : “Apakah sepatu memiliki kelamin? Sehingga harus ada sepatu laki-laki dan perempuan?”
Ini adalah sebuah realitas, bahwa ada tidaknya sebuah film tidak selamanya tergantung pada isi kepala seorang sineas. Seorang pembuat film harus siap berdialog dengan produser dan pemasang iklan, bahkan bila perlu sampai ke ide cerita. Dan itu intinya komesialisme, seorang produsen tentu tidak ingin filmnya ditinggalkan karena membuat puyeng penontonnya. Dan ini yang dialami Garin Nuhroho dalam filmnya Bulan Tertusuk Ilalang (1994), karena alur yang tak teratur, minim dialog, ide yang gelap, film ini tidak ditonton orang karena membuat sakit kepala. Dan alhasil di FFAP 1995, film ini tidak mendapat apa-apa.
“Untuk Eliana, saya berani melawan itu.” Kata Riri Riza, sutradara eliana, Eliana! mengomentari begitu berkuasanya raja bernama pasar. Ia yakin untuk melawan arus itu dengan tetap bertahan pada idealisme seorang sineas. Dan hasilnya pun kita tahu, film ini tidak meledak seperti filmnya terdahulu : Petualangan Sherina, yang menurutnya memang dibuat untuk tujuan komersialisme. eliana, Eliana! satu nasib dengan Beth, harus terdepak dari bioskop, dan justru menguras kocek para pemainnya. Beruntung Rudi Sujarwo, Ada Apa Dengan Cinta? yang merupakan debut pertamanya di layar lebar meledak abis-abisan di pasar. Dan Rudi yang sebelumnya undegroud tulen mulai diperbincangkan di pentas sinema kita.
Memang, untuk mengusung ide cerdas yang mencerahkan, apalagi yang tidak populis butuh perjuangan yang juga abis-abisan. Beranjak FFI Lampung Art Festival kemarin, kita telah memulai untuk melahirkan filmaker- filmaker baru. Sastra dan teater telah lama memulainya. Pertunjukan baca puisi dan pentas teater sudah jadi makanan kita. Tapi bagaimana dengan pemutaran film?
Semoga ini bagian dari ikhtiar kita untuk menyelamatkan generasi yang berada di mulut botol, kata Afrizal Malna. Dan sinema Lampung, meskipun agak telat, yakinlah- bahwa di dalam lubang Betacam anak muda yang coba-coba itu, tidak ada anjing. Mungkin setelah sekian lama bosan nonton orang nungging.[] Khairul Anom
Jangan Sobek Layar Lebar Indonesia
"Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."
Ini adalah iklan film di surat kabar Bintang Betawi, 4 Desember 1900. Victor C. Mambor dalam tulisannya : “Satu Abad Gambar Idoep di Indonesia” menulis, dari iklan inilah orang Indonesia pertama kali mengetahui sebuah mesin yang bisa memutar gambar bergerak. Film pertama itu, adalah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag.
Sejak itulah film-film impor terus menghiasi bioskop di Indonesia, yang juga berdiri saat “gambar idoep” datang pertama kali. Bahkan bukan cuma film dari Belanda yang ketika itu melulu dokumenter. Film Amerika, 'The Life an American fireman' (1903) bikinan Edwin S Porter ikut pula diputar. Film ini sekaligus menjadi penanda lahirnya film cerita, di negeri yang kelak menjadi kiblat sinema dunia itu.
Sementara di Indonesia sendiri, film pertama kali dibuat di tahun 1926, judulnya 'Loetoeng Kasaroeng', dibuat oleh NV Java Film Company. Ketika film bisu itu dibuat, tak terasa bahwa film kita melintasi pelbagai zaman.
***
Mengawali tahun 2004 ini, sinema Indonesia lumayan mengalami “pesta rakyat”. Mulai menggeliat setelah sepuluh tahunan mengalami kebangkrutan. Ketika film 'Petualangan Sherina' garapan Riri Riza dan 'Ada Apa dengan Cinta?' bikinan Rudi Sujarwo meledak dipasaran. Para sineas kita seolah mendapat kalori baru untuk menggeliat, setidaknya dengan sebuah keyakinan bahwa masih ada masa depan bagi film Indonesia. Tahun lalu saja ada 15-an film sudah diputar. Meskipun ini bukan angka yang terlalu mewah jika menilik produksi film di tahun 80-an, yang tiap tahunnya mampu membuat film di atas 50 judul. Tapi ini cukup menggembirakan, karena dipenghujung tahun 90-an, jumlah film kita bisa dihitung dengan jari. Itupun tak seluruhnya diputar di bioskop, karena ada juga film yang hanya berhenti di layar festival.
Dan awal tahun ini beberapa film diputar hampir bersamaan. Ada film musikal 'Biarkan Bintang Menari' karya Indra Yudhistira, yang melejitkan aktis cantik Ladya Cheryl. Berderet kemudian '30 Hari Mencari Cinta' karya Upi Avianto, 'Eiffel I’m in Love' garapan sutradara kawakan Nasri Cheppy, termasuk film bikinan Nayato Fio Nuala: 'The soul'. Film terakhir yang dibintangi Marcella Zalianty itu, seolah semakin memantapkan magnitude film misteri di pasar film kita, setelah didahului oleh 'Jelangkung' dan 'Tusuk Jelangkung'. Nia Dinata yang sukses menggarap 'Ca-Bau-Kan', tahun ini juga memantapkan debutnya dengan meluncurkan film yang menampilkan sisi hidup kelas menengah perkotaan: 'Arisan'. Film-film ini yang kini menghiasi poster di bioskop 21, bersaing dengan film-film impor yang sejak dulu sudah mendominasi boskop milik pengusaha Sudwikatmono (dwi mono; 21) itu.
Usaha untuk mengembalikan “kehidupan” film nasional, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Masa-masa kritis film kita pada awal 90-an, publik sudah menyebut nama Garin Nugroho sebagai lokomotif kebangkitan film. 'Cinta dalam Sepotong Roti', saat itu meledak dipasaran dan mendapat apresiasi cukup besar. Setidaknya ada sebuah film “berselera” yang mencoba, mengimbangi film-film bertema seks yang menjamur ketika industri film Indonesia melesu. Di tahun 1994, Garin ingin pula mengulang sukses itu, ketika Dewan Film Nasional (DFN) mendanainya untuk membuat 'Bulan Tertusuk Ilalang'. Sayang, film yang dibintangi Paquita Wijaya ini tak cukup sukses mendatangkan penonton. Karena di film itu Garin dianggap terlalu berani melawan selera umum penonton kita dengan menuangkan ide dan gambar yang puitik. Bukan hanya karena film ini yang kental dengan nuansa kejiwaan, namun juga penggarapan alur yang tidak liner. Sehinga penonton membutuhkan sedikit waktu untuk bisa mencerna jalan ceritanya. Meskipun saat itu banyak orang berkomentar bahwa film ini memiliki kekuatan ide, namun dalam FFAP 1995 'Bulan Tertusuk Ilalang' tidak mendapatkan penghargaan. Garin juga membuat 'Surat Untuk Bidadari'. Namun film Garin yang barangkali tak akan dilupakan orang adalah 'Daun di Atas Bantal'. Film ini bukan hanya mampu menembus grup bioskop 21, tapi mendapat penghargaan di Festival film 'Cannes' dan beberapa festival film internasional. Tak berlebihan karena film ini memang dibintangi oleh Christine Hakim, aktris yang telah teruji pamornya pada film bermerek seperti 'Tjoet Nja’ Dien'.
Di era kevakuman film selama tahun 90-an, sebenarnya Garin tidak sendirian. Ada beberapa film yang sempat bersinar bintangnya Seperti film 'Taxi', garapan sutradara yang memimpin 'Teater Ketjil', Arifin C Noer. Film yang dibintangi Rano Karno dan Merriam Bellina ini yang kemudian memperoleh Piala Citra. Selain itu ada pula 'Telegram' garapan Slamet Rahardjo Djarot, dan dibintangi Sujiwo Tejo dan Ayu Azhari. 'Telegram' berkisah tentang seorang wartawan bernama Daku yang mengalami skiozoprenia, hidup dan bercinta dengan perempuan khayalannya. Film yang musiknya ditangani Djadug Ferianto ini juga mendapat beberapa penghargaan internasional. Marselli Sumarno menggarap 'Sri', yang bercerita tentang kesetiaan seorang istri muda kepada suaminya yang berada di ujung usia. Film ini juga mampu menembus bioskop 21, meskipun tidak terlalu sukses. Sementara itu Mira Lesmana 'cum suis' membuat 'Kuldesak', dan Nan T Achnas menggarap 'Pasir Berbisik'. Namun membicarakan film Indonesia tahun 90-an, nama Garin Nugroho-lah yang paling menonjol. Garin adalah sineas yang menjadi transisi sesudah generasi 1980-an seperti Arifin C Noer, Slamet Rahardjo, Teguh Karya, atau Chairul Umam. Karena nama Garin lebih dahulu dikenal dibanding Mira lesmana, Aria Kusumadewa, atau generasi paling bungsu seperti Riri Riza, Dimas Djay dkk.
Diantara sineas mutakhir, nama Aria dapat dibilang sangat idealis. Berbeda dengan Dimas Djay yang membuat 'Tusuk Jelangkung' memang untuk menjadi tontonan yang menghibur, Aria hampir tak pernah mau berkompromi dengan selera pasar. Filmnya 'Beth', yang meskipun didukung bintang terkenal seperti Ine Febrianty, Bucek Depp, dan Nurul Arifin, nyatanya ditolak diputar di bioskop 21. Karena film ini bukan hanya bercerita tentang perjalanan jiwa manusia, tapi benar-benar tentang kehidupan di “Rumah Sakit Jiwa Manusia”. Sehingga hampir tidak cocok bagi orang yang ingin menonton film untuk sekedar mencari huburan. Bayangkan, selama kurang lebih 90 menit penonton hanya diajak berputar-putar dibangsal dan komplek orang-orang gila. Ada orang gila mantan politisi yang selalu berkata: “Perkenalkan, ini kartu nama saya?” sambil menenteng poster seorang sipil Vietnam yang ditodong senjata. Atau seorang dokter gondrong yang penjilat dan mata duitan, serta suster yang menjadi gila lantaran depresi mengurusi orang gila. Film Aria yang lain juga nasibnya tak jauh berbeda. Seperti 'Novel Tanpa Huruf R', yang dibintangi Lola Amaria, aktris cantik yang pernah “digugat” nasionalismenya lantaran membintangi film buatan Tokyo Film Production berjudul: 'Merdeka'. Tak aneh jika film-film Aria kemudian banyak diputar secara undergroud di luar bioskop. Seperti gedung kesenian dengan penonton yang cenderung serius dalam mengonsumsi film.
Dan keberpihakan pada “selera” , itu pula yang dilakukan oleh Riri Riza ketika menggarap 'Eliana, eliana!'. Amalia Pulungan pernah menulis tentang Riri Riza di 'Pantau', dan Riri mengaku bahwa film 'Eliana, eliana!' memang untuk penonton yang mencari kemungkinan baru yang ditawarkan oleh film.
"Untuk Eliana, saya berani melawan itu. Karena apa? 'It's a low budget' film. Sebagai perbandingan, 'Petualangan Sherina' dan 'Ada Apa dengan Cinta?' dibuat dengan biaya Rp 2,5 miliar, sementara 'Eliana eliana' berkisar Rp 800 juta. Jadi, kalau sembilan dari 10 orang yang menonton bilang tidak suka, 'gue' sudah siap,” kata Riri Riza, sutradara muda yang pernah mengambil program master di bidang penulisan skenario film di Royal Holloway-London. Film yang dibuat dengan kamera digital ini sudah dipasarkan dalam bentuk VCD, dalam dilabelnya tertera 'I-Sinema'. Riri mengakui bahwa label itu adalah bagian dari gerakan sinema independen. Yaitu gerakan pembuatan film di luar studio besar Amerika Serikat. Menurutnya ada sesuatu yang dikandung dalam 'I-Sinema', yaitu unsur kebebasan. Terutama menyangkut pilihan teknologi pembuatan dan tema cerita.
Namun, jejak pembuatan film dengan kedalaman ide yang telah didahului oleh sineas seperti Garin dan Aria, ternyata tidak semuanya diikuti oleh generasi terakhir. Ketika film-film kini tak melulu berbicara tentang “budaya tinggi” seperti tema sosial, atau tema cinta yang lebih universal. Melainkan menggarap tema populer yang cenderung kompromistis terhadap pasar. Film 'simplistis' yang berbicara tentang kegandrungan anak muda akan percintaan dan 'lifestyle'. Tentang perburuan mencari pasangan dalam '30 Hari Mencari Cinta', ihwal persahabatan di kalanga remaja dalam 'Biarkan Bintang Menari'. Juga tema keseharian 'anak baru gede' tentang warna baju, potongan rambut, sampai 'ngrumpi' soal seks.
Tema-tema menghibur yang sebenarnya lebih dahulu digarap televisi melalui sinetron, 'infotainment' atau 'reality show'. Sineas-sineas muda ini seolah ingin membuat film yang dekat dengan kehidupan penontonnya,. Terlebih banyak dari mereka yang memulai karir sebagai pembuatan video klip, yang karakter “MTV” nya begitu kental sekali. Ini tampak sekali dalam komposisi gambar yang “kaya” karena mengandalkan kekuatan set dan pencahayaan.
***
Pada era kebangkrutan film tahun 90-an, sesungguhnya ada “anak sejarah” yang harus kita apresiasi : munculnya film-film independen. Yaitu pembuatan film berdurasi 30-an menit diluar studio, yang menggunakan alat rekam dan editing seadanya. Munculnya film independen yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda ini, sebenarnya banyak terinspirasi oleh menjamurnya teknologi digital, sehingga membuat film tak harus lagi menggunakan pita seluloid yang memerlukan biaya cukup mahal. Seperti dengan ada mahluk hibrida bernama 'handycam', yang sanggup merekam, editing, sekaligus menayangkannya. Begitu pula dengan kehadiran program multimedia di komputer, yang memudahkan untuk memotong gambar dan memasukkan suara. Ditambah lagi dengan adanya VCD player, S-VHS player, dan proyektor, yang memungkinkan pemutaran film di luar bioskop dengan biaya yang ekonomis. Apalagi kini banyak diktat-diktat tentang produksi film yang dijual secara bebas di pasaran, yang tak lagi menjadi “rahasia dapur” para perusahaan film. Dimana kosakata “sutradara”, “penulis skenario” dan “produser” tak lagi menjadi mitos yang hanya hidup di dunia para seniman dan selebtiris. Yang bukan sineas-pun, akhirnya boleh ambil bagian untuk membuat film.
Tahun 2002 lalu misalnya, Heru Effendy menulis buku 'Mari Membuat Film' yang diterbitkan Pustaka Konfiden. Sebuah buku panduan yang mempelajari seluk-beluk pembuatan film, mulai dari memahami jenis-jenis film sampai dengan penyusunan laporan produksi film. Bagi pemula, buku ini boleh dibilang cukup komprehensif, karena dilampirkan pula istilah-istilah dalam pembuatan film.
Tak dapat dipungkiri, bahwa teknologilah yang menyebabkan film independen muncul di Indonesia. Sebuah tradisi yang sebenarnya sedikit berbeda dengan apa yang yang terjadi di Amerika, ketika orang membuat film amatir karena menjadi perlawanan terhadap studio besar di Hollywood. Tradisi yang kemudian dikenal sebagai 'New America Sinema'.
Perkembangan film independen di Indonesia boleh dibilang cukup pesat. Tiap tahunnya ada 50-an film yang masuk Festival Film dan Video Independen Indonesia (FFVII). Dan sejak ditayangkan di 'SCTV' tahun 1999, FFVII kini sudah mengoleksi 300-an film.
Perkembangan ini juga tak bisa dilepaskan dari merunyaknya komunitas-komunitas filmaker, terutama di kalangan kampus. Banyak diantara komunitas ini yang sudah memiliki sistem organisasi yang ketat dan teratur. Bahkan banyak yang sudah memiliki sistem pengkaderan, dengan rutin melakukan diskusi membedah ilmu perfilman. Komunitas-komunitas inilah yang paling rajin memproduksi film, meskipun mereka memiliki persoalan dalam soal distribusi. Sehingga hanya bisa menampilkan karyanya melalui ajang-ajang festival. Atau lewat pertunjukan 'undergroud' di gedung-gedung umum, yang mereka sulap menjadi bioskop jadi-jadian.
Yogyakarta, barangkali bisa menjadi “proyek percontohan” bagi perkembangan “industri” film independen di Indonesia. Bukan cuma komunitas teater atau kartunis, komunitas filmaker juga mulai menjamur di negeri para seniman ini. Tiap tahunnya tak kurang dari 10 film yang mereka setorkan di ajang FFVII. Selain itu anak-anak muda disana juga aktif mengadakan seminar dan 'workshop' soal film. Dalam membuat film, banyak dari mereka yang hanya mengandalkan uang hasil patungan sesama komunitas, atau lewat penggalangan dana dari pertunjukan film mereka. Dapat dibayangkan akan terbatasnya soal pembiayaan. Bahkan ada yang “bisa jalan” dengan hanya mengantongi dana di bawah satu juta rupiah. Namun soal kreatifitas, buat filmaker ini hampir tanpa batas. Ide mereka hampir tak pernah berbenturan dengan unsur komersil, karena memang mereka tak pernah berurusan dengan para produser. Sehingga ada karya-karya yang eksperimental, mencoba mendobrak alur-alur umum dalam film. Meskipun banyak pula yang membuat film dengan mengadopsi “kebudayaan televisi”. Barangkali karena ini tidak terlalu ruwet dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun berangkat dari mana pun filmaker muda ini, setidaknya ada harapan bagi masa depan film Indonesia. Dan kita harus percaya, bahwa mereka juga berkarya dengan semangat berkebudayaan.[]
Budaya Massa Sebagai Hegemoni Baru
kami menginginkan kamu tidak percayai,
tidak berpikir apapun yang
kami menginginkan kamu tidak berpikir."
Demikian bunyi sebuah pamplet di pojokan kota Berlin 1939, masa rejim Fasisme Jerman. Kata-kata itu berasal dari Dr. Goebbels, Menteri Penerangan dan Propaganda Masyarakat pada saat itu.
Dari pamplet itu ada sebuah simbol, tentang sebuah kampanye, bahwa ideologi Fasisme sedang terus-menrus disuntikkan pemerintah secara massal ke dalam alam pikir dan ruang kebudayaan masyarakatnya. Dan ikon-ikon pun menjadi bagian dari propaganda, barisan tentara-tentara yang gagah berani, kebanggaan atas sebuah gen terbaik dan heroik, lambang Swastika, anti semitisme, adalah gelombang yang mengepung masyarakat jerman saat itu. "Ein reich! Ein volk! Ein fuehrer!" Bukan sekedar teriakan menggelegar Sang Adolf 'Fuehrer' Hitler yang begitu percaya diri tentang sebuah 'Perjuangan Kita', tetapi lebih dari itu, ia adalah sebuah proses hegemoni. Benar Leon Trotsky, dalam tulisannya "What Is Proletarian Culture, and Is It Possible?" (1923) ia mengatakan bahwa setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri. Setiap kekuasaan pasti akan menciptakan peradaban yang resultan dengan kekuasaannya itu sendiri. Perbudakan di Timur, keantikan di era klasik, feodalisme dan borjuisme eropa adalah kanal-kanal sejarah yang begitu jelas bahwa kekuasaan selalu meninggalkan budaya yang hegemonik. Jerman tidak sendirian. Mengawal tahun empatpuluhan bagi para jendral, pemuda, anak-anak hingga ibu rumah tangga di Italia adalah "Credere! Combarette! Obedire!" (Percaya, perang dan patuh). Fasisme bagi Musollini, bukan sekedar kepercayaan, Fasisme adalah sebuah agama. Dengan 'kandang besi' itu ia bisa menarik psikologi massa dengan sebuah impian bahwa kelak Italia menjadi sebuah bangsa besar dan penguasa dunia.
Fasisme boleh tumbang, Jerman dan Italia boleh kalah perang, tapi keduanya tak akan pernah dilupakan Eropa tentang sebuah ketakutan abadi dan sejarah Genocides yang tak selesai dikenang orang. Meskipun kini Fasis! tidak lebih hanya sebagai kata makian.
Di Indonesia, meski tidak se-ekstrem itu, proses budaya masa lampaunya juga meninggalkan hal yang sama. Raja-raja Jawa adalah penguasa mitos bagi para kawula, titah dan budayanya adalah kepatuhan. Baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, sakral dan profan, adalah barang-barang produksi keraton yang harus di yakini dan di jalankan masyarakatnya. Sehingga ada sebagian dari mereka yang siap menjadi abdi dalem dan para selir, atas keyakinan bahwa pengabdian mereka terhadap raja dan sanak keluarganya adalah sesuatu kemuliaan. Raja-raja Cina juga tidak jauh berbeda, di sana para pemuda yang siap menjadi Kasim datang bersama bapaknya menghadap sang raja, menyerahkan buah kelaminnya yang telah di kebiri. Mereka siap menjadi abdi rumah tangga istana dengan tanpa kelamin, agar leluasa membersihkan kamar mandi puteri dan kamar persetubuhan sang raja.
Setiap kekuasaan selalu melahirkan budayanya sendiri. Dan kebudayaan menjadi hal ihwal yang sepanjang sejarah selalu tarik-menarik dan melahirkan benturan-benturan untuk saling menghegemoni. Mistisme Timur dan Rasionalitas Barat tak usai menimbulkan prasangka, Timur bagi Barat adalah sebuah negeri yang pasif, tradisional, spiritual, dan Barat selalu menganggap dirinya sebagai negeri yang aktif, progressif, materialistis (Iwan Nurdaya-Djafar, Lampost 9/3/2003). Proletarisme dan Borjuisme juga saling menempatkan diri sebagai antitesa satu sama lain. Borjuisme bagi Proletarisme adalah masyarakat kelas yang menindas dan mengeksploitasi, sementara Proletarisme dalam stereotip orang Borjuis adalah orang-orang feodal yang radikal, yang mengancam kebebasan. Perbedaan yang dikotomik itu kadangkala berperang untuk sebuah hegemoni dan masing-masing berusaha untuk menciptakan tatanan dunia idealnya masing-masing.
Dan persoalannya, apakah kebudayaan itu akan runtuh seiring dengan runtuhnya kekuasaan. Seperti runtuhnya tembok Berlin dan revolusi Perancis. Seperti sosialisme yang tidak bisa dianggap mati begitu saja seiring dengan kehancurannya sebagai penguasa di Eropa Timur. Alvin Toffler (Ikon, 2002 : 66) mengatakan, derita berdarah dari Bucharest ke Baku sampai Beijing tidaklah berarti membuat sosialisme juga berakhir. Baginya sosialisme berbenturan dengan masa depan. Seperti halnya juga keraton Surakarta dan Yogya, yang boleh untuk tidak punya kekuasaan secara politik, tapi tidak untuk budaya.
Meski bagaimanapun, kekuasaan dan kebudayaan memang selalu mengalami perubahan. Feodalisme dikalahkan dengan liberalisme. Kekuasaan dan rejim-rejim Totaliter telah tutup buku. Kini kekuasaan bukan lagi sekam-sekam gelap yang menggiring histeria massa atas pidato-pidato politik. Kekuasaan yang menghegemonik tengah dikikis evolusi sosial yang membawa masyarakat menuju kesadaran individual, dan masyarakat yang semakin rasional. Kini kita bisa jadi telah memasuki suatu era yang diimajinasikan Jacques Derrida dan Michel Foucault, yaitu suatu masyarakat yang mendekonstruksi stukturalisme. Dalam bukunya Dicipline and Punish dan The History and Sexuality, Foucault berpendapat bahwa tak ada ide kebenaran yang universal dan abadi. Ia sebagaimana juga Friedrich Nietzsche beranggapan bahwa ilmu pengetahuanlah yang berkuasa dan menjadi senjata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dan kebudayaan. Foucault terus menunjukkan bagaimana kekuasaan di kendalikan oleh wacana, dan bagaimana wacana akan selalu berakar dalam kekuasaan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah milik penguasa (John Storey, Penerbit Qalam, 2003 : 135) maka ketika ketika gelombang perubahan menafikan keabadian-keabadian, wacana tentang struktur menjadi berantakan dan muncul menjadi begitu beragam.
Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock memperkenalkan tentang adanya krisis besar dalam masyarakat industri. Bahwa kini struktur negara telah terdekonstruksi, media massa mengalami demassifikasi, gaya hidup dan nilai telah begitu beragam. Analisis-analisis politik dengan bentuk-bentuk lama sudah tak berlaku lagi. Istilah seperti "sayap kanan' dan 'sayap kiri' atau 'liberal' dan 'konservatif' telah tercerabut dari makna umumnya.
Dalam masyarakat industri yang semakin rasional pada akhirnya wacana yang berkembang adalah negosiasi-negosiasi antar peradaban. Apalagi arah tanda-tanda zaman seperti yang diilustrasikan Francis Fukuyama tentang sebuah anti klimaks, bahwa sejarah telah berakhir dengan sebuah kemenangan bernama kapitalisme. Maka tak dapat dipungkiri mau tak mau sejarah memang sedang melangkah kesana. Keberagaman sistem dunia akhirnya harus menuju muara yang membangun negosiasi, yaitu sebuah relasi yang saling interdepedensi. Kapitalisme harus diakui mampu menjadi katalisator dari pelbagai dinamika dan menjadikan semuanya saling terhubung dan tersinergi, yang akhirnya menjadi arus besar yang tak terelakkan lagi. Kapitalisme memang sebuah pemenang, setidaknya sebagai sebuah ideologi dan praktek sosial, kapitalisme berhasil lolos dari pelbagai kontradiksi sosial.
Sebagaimana Trotsky, bahwa setiap kelas yang menjadi pemenang dan berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, maka kapitalisme juga kini memiliki budayanya sendiri. Kapitalisme yang lahir dari masyarakat industri, memproduksi sebuah kultur yang tak bisa di lepaskan dari mekanisme industrialisasi, yaitu kalkulasi-kalkulasi semacam modal, pasar, konsumsi, teknologi, dan informasi. Kebudayaan yang timbulpun tak lepas bersandar dari faktor-faktor tersebut.
Menurut Hikmat Budiman (2002 : 238) budaya yang dihasilkan oleh masyarakat industri telah membuat satu pergeseran, dari kreasi kultural menjadi kreasi produksi yang mereproduksi kebudayaan. Kebudayaan tidak lagi tumbuh dari proses-proses kultural yang berkembang di masyarakat, evolusi dan dialektika sosial yang menciptakan kebudayaan menjadi terbantahkan dalam masyarakat kapitalis, yaitu ketika kebudayaan dapat mereka ciptakan seperti halnya mereka membuat barang-barang produksi. Relasi antara kebudayaan dengan barang-barang produksi sesungguhnya sudah lama diisyaratkan Marx dengan dialektika materialismenya. Baginya produksi kehidupan material mampu mengkondisikan kehidupan budaya, sosial, politik, dan intelektual. Ia bukan tentang kesadaran manusia sebagai penentu eksistensinya, tetapi sebaliknya, realitas sosiallah yang menentukan kesadaran manusia yang ada di dalamnya. Sebagaimana juga filsuf Prancis Lous Althusser, ideologi bukan sekedar hanya pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai suatu praktik material. Donnez-moi de la matiere et du mouvement, je ferai un monde (Berilah aku materi dan gerak, maka akan kuciptakan dunia) demikian kata Descartes.
Apalagi bagi para kapitalis, mereka mampu menciptakan suatu kondisi saling ketergantungan antara barang produksi dan budaya. Yaitu budaya yang selalu membutuhkan barang-barang produksi, dan barang-barang produksi yang dapat terus berproduksi karena ada suatu budaya yang selalu membutuhkannya.
"Barang-barang material," kata Max Weber yang tulisnya di tahun 1901, "telah memperoleh kekuatan yang makin naik dan akhirnya tak dapat ditawar-tawar terhadap kehidupan manusia. Kekuatan semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia."
Maka dalam kebudayaan kapitalis ini telah terjadi sebuah mutasi kebudayaan, yaitu pencerabutan dari akar-akar ekologis, dari lingkungan flora dan fauna, menuju lingkungan billboard dan papan-papan iklan berikut segenap manipulasi kebudayaan massa (Bre Redana, 2002: 280). Kebudayaan massa, itulah yang diciptakan oleh kapitalisme. Budaya yang juga sering di sebut sebagai budaya pop atau budaya popular ini (meski dalam beberapa wacana masih di perdebatkan) tumbuh menjadi kecenderungan global, seiring dengan globalisasi yang lahir dari kapitalisme.
Globalisasi memang menjadi konsekuensi dari kapitalisme, sebab industrialisasi saat ini bukan lagi konsep industri tradisional, ketika aktivitas produksi hanya di dasarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang berpijak pada hukum tawar menawar. Tetapi lebih dari itu, industrialisasi pada masyarakat kapitalis menjadi aktivitas produksi yang jauh lebih besar, yang melampaui hukum permintaan. Barang-barang yang diproduksi tak lagi tertampung oleh batas-batas geografis negara-negara. Ekspansi global tak terelakkan lagi. Dan bagi kaum kapitalis mereka tidak mau tertidur menunggu Godot dalam gudang bersama barang yang diproduksi berlebihan. Sehinggalah terciptalah kebudayaan massa, yang selalu menantikan barang produksi itu seperti laiknya rakyat Afganistan yang kelaparan, menanti kapal-kapal makanan Amerika.
Budaya massa adalah budaya yang terangkut mobil kapitalisme. Masyarakat dalam kebudayaan ini adalah masyarakat yang berbasis materialisme dengan wujud konsumerisme. Kebudayaannya berdialektika dengan realisme-realisme. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat, kebudayaan massa sesungguhnya telah masuk hilir mudik dalam rumah tangga kita. Ketika bangun pagi kita nonton televisi, di jalan raya baca koran sambil melewati papan-papan iklan, malam hari nyetel radio sambil muter internet, menggambarkan bahwa negosiasi dan dialektika kebudayaan berlangsung setiap hari. Batas tak lagi jelas ketika nasion tidak lebih sebagai komunitas-komunitas terbayang (Ben Anderson), dan peradaban-peradaban besar menjadi sesuatu yang sederhana ketika kita mengunyah dodol garut sambil nyeruput Coca-cola.
Di dalam budaya massa terdapat suatu konsumsi aktif atas penciptaan ruang kebudayaan terhadap produk-produk industri. Seiring dengan kepentingan kapitalisme, budaya massa berkembang menjadi universalisasi budaya. Budaya tersebut bergulat dan bernegosiasi antar budaya yang pada akhirnya tercipta sebuah keseimbangan yang kompromistis, sebuah titik temu kebudayaan. Yang terjadi adalah pemunculan kepentingan dominan, dan menghindarkan diri terhadap resistensi antar kebudayaan. Pergulatan kebudayaannya pun tidak berlangsung atas pencarian akar nilai-nilai seperti rasisme, gender, majikan-buruh, atau materialisme dan immaterialisme. Melainkan dalektika itu berlangsung pada seleksi teks dan praktek konsumsi, seleksi barang-barang produksi. Yang terkadang itu sengaja diarahkan dan diciptakan oleh para pemilik alat-alat produksi.
Meskipun kemudian proses seleksi atas aktifitas konsumsi ini, menurut teori hegemoni Neo-Gramscian bukan berarti mencerabut kemungkinan adanya idealitas pemaknaan atas material teks dan praktek. Sehingga dalam proses seleksi ini ada dialektika antara massa dan produsen, yaitu dialektika antara proses produksi dan aktifitas konsumsi. Ada proses tawar menawar antara keduanya.
Maka ketika budaya massa berkembang menyelimuti ruang kebudayaan, kenyataan adanya sebuah hegemoni kebudayaan pun tak terhindarkan lagi। Setidaknya telah terjadi pergeseran global wacana berbudaya. []
Khairul Anom
Pers: Kisah Si Anak Tiri
Alat resminya adalah undang-undang, yang menjadi kaki tangan boleh siapa saja, dari tentara sampai menteri penerangan. Maka dimulai dengan UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, kemudian UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Pokok Pers, pemerintah menjadi sosok yang untouchtable.
UU No. 11 Tahun 1966 yang lahir pada tahun-tahun pencarian demokrasi, adalah undang-undang yang sangat ketat mengendalikan pers. Bahkan konsiderannya sendiri menyebutkan bahwa pembinaan pers ada di tangan pemerintah. Di era Soekarno ini, pers diharuskan menjadi pembela, serta alat penyebaran Manifesto Politik. Penerbitan yang tidak mengikuti ketentuan ini dapat dikenakan sanksi; dicabut izin terbitnya, atau tidak memperoleh izin pemakaian kertas yang di subsidi oleh pemerintah.
Keadaan ini diperburuk lagi ketika Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban juga memberlakukan Surat Izin Cetak (SIC), dan Surat Izin Terbit (SIT). Menjelang berakhirnya Orde Lama, pemerintah sempat mencabut SIT dan SIC beberapa media yang terkait simpatisan dengan Badan Pendukung Soekarno (BPS). Ada 21 media di Jakarta dan Medan, antara lain: Merdeka, Indonesian Observer, Berita Indonesia, Warta Berita, Semesta, dll.
Pemerintahan Orde Baru memulainya dengan pembredelan media yang terkait simpatisan dengan PKI. Jumlahnya 46 dari 163 media yang waktu itu ada di seluruh Indonesia. Media-media itu dilarang terbit untuk waktu yang tidak ditentukan.
Begitu pula ketika pecah peristiwa Malari. Puluhan media dibredel secara serentak, seperti Indonesia Raya, Pedoman, Kami, The Jakarta Times, Abadi, Mahasiswa Indonesia, Ekspress.
Media kampus juga tak luput dari pembredelan, antara Salemba, Tridarma, Kampus, Integrasi, Berita ITB, Muhibah, Aspirasi. Meskipun dari beberapa media itu kemudian ada yang dicabut kembali keputusan pembredelannya. Kecuali Indonesia Raya, pembredelan tahun 1974 ini menjadi liang kubur harian yang beberapa kali buka-tutup ini.
Tahun 1978 Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo membredel tujuh media nasional, yaitu: Kompas, Sinar Harapan, The Indonesian Times, Merdeka, Pelita, Sinar Pagi, Pos Sore, serta tujuh media kampus. Penutupan itu hanya berlangsung dua minggu setelah para pemimpin redaksi membuat kesepakatan untuk memelihara stabilitas nasional.
UU No. 11 Tahun 1966 ini baru mengalami perubahan dua dekade kemudian. Yaitu dengan keluarnya UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Pokok Pers. Undang-undang ini mencabut Lembaga SIT Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Secara umum undang-undang ini sangat dipengaruhi oleh semangat teknokratik dan developmentalisme, yang sedang digalakkan oleh pemerintah Orde Baru. Dan undang-undang ini memang menghapuskan lembaga bredel, namun pemerintah masih dapat melakukan penutupan terhadap perusahaan media melalui pembatalan SIUPP. Maka pada prinsipnya, peraturan tentang bredel tidak mengalami perubahan, hanya pergeseran istilah saja.
Pada Oktober 1986, Menpen Harmoko membredel harian Sinar Harapan. Alasannya harian itu menuliskan tentang devaluasi yang dianggap spekulatif dan meresahkan masyarakat. Pada Februari 1987, ia kembali membredel harian Perioritas. Koran ekonomi itu ditutup karena menurunkan tulisan berjudul: “Hutang Luar Negeri 6,7 Trilyun Jatuh Tempo.” Pada 21 Juni 1994, giliran majalah Tempo. Majalah itu dibredel lantaran memberitakan tentang pembelian kapal bekas dari Jerman Timur oleh Angkatan Laut. Tahun yang sama majalah Editor dan tabloid Detik juga dibatalkan SIUPP-nya. Alasan resmi pemerintah mengenai pembatalan SIUPP Editor, karena majalah itu tidak mengajukan nama baru bagi pemimpin redaksi dan pemimpin umum, yang sudah tak aktif sejak tahun 1993. Adapun Detik, diputuskan melakukan penyimpangan perizinan, dari tabloid informasi detektif dan kriminal menjadi tabloid politik. Tahun 1998, majalah DR:Detektif Romantika juga dibatalkan SIUPP-nya oleh Menpen Harmoko, karena dianggap melecehkan Presiden Soeharto. Dari beberapa media yang dibredel diatas, dua diantaranya sempat melakukan tuntutan ke pengadilan. Dimulai oleh Perioritas yang mengajukan judicial review (hak uji materiil) ke Mahkamah Agung. Perioritas menuntut agar Permenpen No. 1 Tahun 1984 dibatalkan. Namun tuntutan ini tidak berlanjut, karena Mahkamah Agung justru mengeluarkan keterangan peraturan tentang judivial review.
Berbeda dengan Prioritas, Tempo mengambil langkah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan majalah yang Pemimpin Redaksinya Goenawan Mohamad ini sekaligus menjadi sejarah pertamakalinya kebijakan bredel digugat. Di tingkat pengadilan tinggi, gugatan ini sempat dimenangkan oleh Tempo. Namun ketika kasasi di Mahkamah Agung (MA), Tempo mengalami kekalahan, dengan alasan tindakan Departemen Penerangan ketika itu bukan pembredelan, melainkan pembatalan SIUPP. Putusan ini pun menimbulkan polemik, salah satunya karena dianggap bertentangan dengan maksud pasal 15 UU No. 21 Tahun 1982, bahwa apabila terjadi kesalahan yang dihukum adalah wartawan, bukan lembaga atau perusahaan penerbitan.
Angin kebebasan pers berhembus seiring dengan datangnya reformasi. Yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, dan digantikan oleh BJ Habibie yang semula menjabat wakil presiden. Turunnya Suharto yang berarti juga berakhirnya rezim Orde Baru inilah, yang kemudian menjadi perubahan besar pada pemerintahan Indonesia. Era reformasi dimulai, dengan dibukanya kebebasan dalam berdemokrasi. Ini juga berpengaruh pada perubahan kebijakan pemerintah terhadap pers. Ketika Menteri Penerangan dijabat oleh Yunus Yosfiah, lahirlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diundangkan pada 23 September 1999. UU No. 40 Tahun 1999 ini ini menghapuskan lembaga SIUPP. Keberadaan undang-undang ini kemudian diperkuat kembali pada kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, yang membubarkan Departemen Penerangan. Sehingga Intervensi pemerintah terhadap pers dihapuskan sama sekali. Musim semi pers pun dimulai, dengan bermunculannya penerbitan media baru, baik lokal maupun nasional. Rakyat bebas menerbitkan media, karena tak lagi “hantu” SIT, SIC, atau SIUPP. Kebebasan pers yang disambut dengan banyaknya media yang lahir ini, memberi suasana kompetitif dalam dunia pers. Masing-masing media berebut pasar untuk kelangsungan kehidupannya.
Meskipun kebebasan pers ini juga, tak luput meninggalkan dampak negatif bagi kehidupan jurnalisme. Terutama dengan banyaknya yellow press (media kuning), yang mengeksploitasi teks dan foto menjurus pornografi dan kekerasan. Banyak pula yang cenderung provokatif, atau menjadi alat kepentingan bagi orang atau kelompok tertentu. Juga media-media yang membesarkan debat publik yang artifisial dan lebih sebagai hiburan.
Namun menyikapi fenomena yang terakhir ini, ada baiknya jika kita membaca kembali ucapan mantan Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson: “Dalam sebuah rezim yang bebas, kita bakal mendapatkan pers yang baik maupun buruk. Tetapi pada rezim yang penuh kontrol, kita hanya mendapatkan pers yang buruk, pers yang terlibat dalam kebohongan atau kebenaran yang setengah-setengah, karena ia dilarang menceritakan kebenaran yang seutuhnya.”[] Khairul Anom
Magnitude Pemilu
Amat menjengkelkan memang ketika opini publik ternyata masih dianggap sepi oleh politisi kita yang bermasalah. Seperti tak merasa menjadi keparat, meski pengadilan sudah memutusnya terlibat kejahatan. Bahkan masih percaya diri untuk minta dipilih kembali. Apalagi banyak jalan untuk berkelit: “Kampanye anti politik busuk adalah adalah jalan membunuh karakter lawan politik.” Atau: “Jangan sampai gerakan ini terjebak kepada fitnah,” begitulah kira-kira jawaban yang kita tahu arahnya kemana.
Barangkali politisi bermasalah itu percaya jika peradilan kita seperti orang yang mengalami disfungsi seksual, sehingga buru-buru bicara tentang pencemaran nama baik, ketika nama-nama politisi busuk itu akan diumumkan. Terlebih lagi ada kado dari putusan kasus Tempo yang kalah senilai US$ 1 juta terhadap Tomy Winata baru-baru ini, bahwa opini publik dan kemarahan para intelektual, hanya anjing menyalak di meja hijau pengadilan yang terhormat.
Memang, para politisi kita seolah-olah orang yang ahistoris, sosok yang datang tiba-tiba dan tanpa sejarah. Lupa ketika menjadi fungsionaris partai zaman Orba dulu semeja-makan dengan orang seperti Sjamsul Nursalim, Bob Hasan, dan konglomerat lain pemdompleng utang yang makan hutan dan kayu gelondongan. Lupa ketika menjadi “jendral ABRI” dulu menjadi pembantai di Irian Jaya, Timor-Timur, dan Aceh. Lupa kalau dulu ikut membunuh demokrasi, dengan memerintahkan penghilangan para aktifis. Tak ikut merasa berdosa bahwa partainya membungkuk-bungkuk di kaki Orde Baru. Dan sekarang meyakinkan kepada rakyat, bahwa mereka juga adalah korban yang ditunggangi oleh rezim Bapak Pembangunan.
Padahal mereka sepertinya dulu paling nyaring bersuara: “Bangsa ini masih membutuhkan kepemimpinan Pak Harto.” Sejarah bagaikan simsalabim, runtuh tiba-tiba seperti tembok Berlin dan sorak-sorai tentang dunia baru yang rekonsiliatif.
Parahnya mentalitas semacam ini justru diwarisi para oleh para sipil kelas menengah, yang mendapat kesempatan mencicipi kekuasan pada zaman baru lewat partai beneran maupun partai sulapan. Masih terkaget-kaget mungkin hidup dengan kasta baru, sehingga kebingungan mencari jalan menikmati kekuasaan dan kekayaan. Akhirnya kepergok dugem dan ekstasi di klab-klab malam. Sambil melakukan laundring atas kejahatan korupsinya dengan pergi umroh maupun kegiatan penyantunan sosial.
Yakinlah bahwa modal menjadi wakil rakyat di Indonesia adalah “piti” dan jaringan. Soal intelektualitas tak terlalu menjadi prioritas. Maka jangan heran jika langkah pertama kebanyakan politisi itu, adalah memalsukan ijazah. Ini perlu, agar langkan menuju pengabdian dapat berjalan mulus. Tak kaget jika KPU menemukan ribuan kasus pemalsuan ijazah oleh para caleg. Nilai dan martabat pendidikan akhirnya ikut pula diacak-acak, mungkin lantaran terlalu biasa dengan jual-beli gelar di kampus-kampus hotel. Bayangkan ada seorang caleg yang tak lulus SMA, lalu kalangkabut menguber ijazah Kejak Paket C demi lolos verifikasi. Namun ini tak seberapa lucu, jika dibandingkan dengan kasus seorang wakil rakyat yang memanipulasi surat general check up, lantaran ia ternyata mengalami gangguan jiwa.
Sementara itu masih ada juga pegawai negara yang kemaruk dengan ikut mendaftar menjadi caleg, namun tak mau melepas baju “Korpri”-nya. Meski perlu sedikit bersiasat, karena UU No 43/2003 akan menghentikan secara terhormat maupun tidak terhormat, apabila para “abdi dalem” ini diketahui aktif berpolitik. Akhirnya jalan yang paling “belut” pun dilakukan, seperti dengan memalsukan dokumen.
Walaupun begitu ada juga caleg yang marah dan merasa tertipu ketika tak ditetapkan sebagai nomor jadi, atau terpental sama sekali. Lalu berteriak-teriak tentang demokrasi dan keadilan di depan kantor KPU atau kantor partainya sendiri, bahkan ada yang sampai menggugat KPU senilai 1,3 miliar segala. Dan ada yang lebih ironi, seorang anggota KPU beserta keluarganya harus mengungsi ke hotel, karena diteror oleh seorang gagal menjadi calon ndoro kanjeng anggota dewan.
Tak sedikit pula para “gagal caleg” itu berdemostrasi dengan mengerahkan demonstran “nasi bungkus” dan massa “uang rokok”. Koran Tempo (16/1/2004) menulis : “Aksi demo semacam ini berlangsung dari caranya yang sopan, yang cuma membentangkan spanduk dan poster, sampai yang kasar, bahkan menjurus ke tindak kriminal. Saling hantam, tonjok sana sini, merebut berkas yang akan disetor ke KPU daerah, menyegel markas, hingga membakar kursi-kursi di kantor partai.”
Walaupun banyak juga pendukung partai yang melakukan demo tandingan, menentang nama-nama yang menurut mereka tak berkredibel dalam daftar caleg partainya. Demo ini juga tak kalah bringasnya, karena ada yang sampai menduduki kantor partainya sendiri.
Ihwal korupsi-kolusi-nepotisme dalam penyusunan daftar caleg, siapa yang sanggup mangkir. Partai sudah seperti korporasi keluarga. Jika bapak jadi pemimpin atau pendiri partai, seolah dari anak sampai ponakan otomatis menjadi caleg. Masing-masing diberi jatah daerah pemilihan yang sepertinya datang dari langit seperti wangsit. Kalaupun tidak begitu, hampir dipastikan para caleg adalah “juragan” yang siap investasi untuk mengganti ongkos cetak pamplet dan spanduk partai. Atau bisa juga orang itu adalah bagian dari jaringan ‘kerajaan” internal partai, dimana soal kubu dan “bolo-boloan” sangat dominan menentukan pencalegan-nya. Tengok saja beberapa ribut-ribut penyusunan caleg di PDIP dan Golkar, yang sampai terjadi gontok-gontokan antar pendukungnya. Ataupun kalau bukan kroni atawa juragan, pastilah caleg itu adalah selebritis, setidaknya orang yang masih ditepuki oleh massa di panggung hiburan. Karena nyatanya “goyang patah-patah” lebih menjadi magnitude kampanye ketimbang omong (kosong) visi, misi, platform.
Maka UU No 12/2003 tentang pemilu yang mengatakan bahwa proses seleksi caleg dilakukan oleh partai secara terbuka dan demokratis, sebenarnya hanyalah konsep yang lebih enak di dengar ketimbang dijalankan. Seperti halnya juga konsep pemilu proporsional terbuka yang “tertutup segan, terbuka tak mau.”
Pemilu pada akhirnya memang cuma persoalan bersiasat dan tipu-muslihat, termasuk juga dalam soal kampanye. Saat ini hampir tidak ada kontestan yang tidak mencuri start kampanye. Dari presiden sampai bupati hampir semua “pulang kandang” ke partai masing-masing. Kalau perlu ramai-ramai menggunakan fasilitas negara. Barangkali karena terinspirasi nasionalisasi aset negara ala Golkar di zaman Orba, bahwa segala milik pemerintah yang meskipun tidak punya asal-usul dengan Golkar, harus diwarnai kuning. Bukan cuma menteri, carik di kelurahan pun wajib jadi jurkam, dan kalau tidak mau harus siap diganjar tudingan “pembangkang” atau malah dicap “PKI”. Sekarang mungkin tidak segila itu, paling banter hanya mendompleng fasilitas negara untuk kepentingan partai, itupun masih sembunyi-sembunyi. Tapi soal salip-salipan, itu hampir bisa dipastikan. Dari yang sekedar bagi-bagi kalender bergambar calon, sampai gerak jalan berkaos-berspanduk partai.
Silahkan cari manakah peserta pemilu yang belum menempel stiker di angkutan umum atau memasang bendera di gang-gang perkotaan-pedesaan. Atribut partai dipasang dimana-mana, sambil main “petak-umpet” dengan Panwaslu.
Apalagi jika kemudian mereka juga disokong oleh oknum media kita yang bermental mana tahan jika sudah urusan uang. Seorang calon presiden bisa nongol di televisi untuk sekedar mengucapkan “gong xi fat cai” sambil menampilkan diri sebagai sosok negarawan yang jumawa. Padahal ketika Arnold Schwarzenegger menyalon menjadi gubernur California, semua stasiun televisi Amerika sepakat menghentikan penayangan film aktor yang bekas binaragawan itu.
Koran disana seperti New York Times, sangat tegas bersikap terhadap iklan dengan memberi garis bernama firewall (dinding api). Sementara banyak koran kita, iklan kalau bisa diselubungkan identitasnya.
Bahkan ada koran lokal yang terang-terangan memajang gambar seorang calon DPD, pada banner halaman pemilu. belum lagi dengan rubrik profil yang ditulis tanpa kritis, yang seakan menjadi “rezeki rayahan” bagi para wartawan. Sebuah paradoks yang seharusnya menarik keprihatinan para jurnalis kita, yang tak juga meranjak dari tema usang berjudul “wartawan amplop”.
Selain itu, menjamurnya polling juga menjadi magnitude tersendiri di zaman pemilu ini. Dan kita senang juga dengan adanya beberapa lembaga polling yang memiliki akurasi tinggi seperti CESDA atau CETRO, yang tentu memberi efek mencerdaskan kepada masyarakat. Walau tak sedikit juga jumlah para pembuat polling yang lemah metodologi. Dan ini kebanyakan dilakukan oleh media, terutama yang hanya menggunakan polling sekedar untuk menangguk tiras dan popularitas. Sehingga polling tidak perlu lagi membicarakan efektif tidak efektif, apatah lagi metodologi. Bahkan bila perlu menyediakan satu halaman penuh untuk sekedar memuat kupon dukungan.
Pembaca sekalian, kita hampir tak menyadari bahwa menghadapi pemilu ini kita semua menjadi lucu.
***
Kalau kemudian Nurcholish Madjid mengatakan: ”Kalau tidak sekarang, 20 tahun lagi tidak ada sesuatu,” mungkin ada benarnya juga. Sekaranglah barangkali saat yang tepat untuk bebrayan membersihkan pemerintahan kita dari “politisi keparat-jendral petualang”.
Pemilu 2004 adalah garis demarkasi dimana “ashabul yamani” dan “ashabul yasari” saling berhadap-hadapan. Keduanya bertempur untuk menghegemoni ingatan kolektif masyarakat tentang masa lalu. Lalu meyakinkan bahwa merekalah penyelamat, dan lawannya yang pendosa. Reformasi baru berjalan 6 tahun, namun ingatan masyarakat kita sudah berada diambang pikun. Ruang psikososial hampir menjadi abu-abu, ketika kita tak sanggup lagi secara tegas mengatakan siapa salah siapa benar.
Karena kata-kata “bangsat Orde Baru” dengan “lebih enakan Orde Baru” memiliki kemungkinan yang sama untuk meluncur dari mulut penjual tomat di pasar tradisional. Sedemikian kuat citra abu-abu itu, akhirnya berimbas pada bangunan paradigmatik kebenaran di masyarakat, ketika rakyat menjadi pangling terhadap “hitam-putih” dan “benar-salah”.
Terlebih ketika pencitraan itu begitu kuat didesakkan oleh pelbagai macam media. Yang koruptor tampak begitu nasionalis, sebagai bapak penyantun yang mengelus-elus kepala buruh, lonte, dan gelandangan. Sementara yang mengaku reformis terlihat eksklusif dengan menggulung pipa celana terhadap bocah pinggir kota yang lapar dan kapiran. Kita mungkin bukan bangsa yang mengalami insomnia, dengan kehilangan sama sekali ingatan tentang masa lalu. Namun harus diakui bahwa rasionalitas rakyat kita tidak cukup kuat untuk mencerna pelbagai fenomena di sekelilingnya. Menemukan surat dibalik yang tersirat. Terutama pada masyarakat pedesaan yang agraris-tradisional, dimana daya kritis masih menjadi sesuatu yang “mewah”. Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem pernah menulis: “Hidup yang prasojo saja, tak usah yang aeng-aeng. Madeg, Mantep, Madhep. Dan saya sudah 3M sebagai babu kok. Kabegjan masing-masing kita punya, sudah kita bawa sejak lahir. Rejeki datang bukan karena culas dan cidra.”
Maka jangan terlalu berharap, bahwa kampanye anti politik busuk akan banyak mengapresiasi kehidupan kelas babu negeri ini. Terlalu berharap bahwa mereka sanggup mencerna jika si A itu koruptor, si B itu penjahat HAM, si C itu antek Orde Baru.
Jangankan mereka. Para kelas menengah yang lebih dulu tersentuh pendidikan politik pun, tidak menjadi jaminan bahwa mereka tidak memilih partai para penyamun. Bahkan merasa lebih populis berkerumun di partai para cukong yang mewah dan berkelas, sambil kongko mengobrolkan proyek tanpa tender.
Pemilu 2004 adalah pijakan to be or not to be. Harus ada keyakinan bahwa terbukanya kran demokrasi, masih memberi janji kepada parlemen kita untuk lebih berkualitas. Bahwa kelak kata “rakyat” sudah otomatis menjadi visi utama para priyagung politisi. Dan rumah “kardus” parlemen di zaman Orde Baru sudah berada di perpustakaan, sebagai lembar hitam sejarah kekuasaan di republik ini.[] Khairul Anom
Calon Presiden Masyarakat Gagal
Kalau kemudian Siti Hardianti Rukmana atau Mbak Tutut mencalonkan diri sebagai presiden, kenapa harus panik? Karena ternyata toh reformasi menjadi kata paling paradoks untuk bangsa ini. Sebab kata itu kini tak lagi bisa ditafsirkan secara lempang, tumbangnya “orde babe” dan lahirnya masyarakat baru. Menafsirkan reformasi akhirnya harus kembali, di kelas mana seseorang berada; kelas elit, kelas menengah, atau kelas babu.
Bagi kelas elit dan borjuis, refomasi adalah kesempatan berkuasa dengan menangguk suara kelas babu lewat partai-partai sulapan. Sementara bagi para babu, refomasi adalah ketidakjelasan ekonomi dan politik yang terus diulur-ulur, yang kata Chairil Anwar:”hidup hanya menunda kekalahan.” Pyrrhus-overwinning, ucap Soekarno, kemenangan sesaat dan palsu, yang bisa jadi adalah awal dari keruntuhan total.
Maka kenapa panik dengan kembalinya orde baru, jika reformasi ternyata memberikan cerminan yang negatif terhadap masyarakat. Seperrti bobolnya 1,7 truliun bank BNI, tragedi bom Bali, melambungnya rekening listrik dan telepon. Sementara realitas menjadi begitu verbal dengan eoforia massa yang kalut, pembang-kangan terhadap hukum, dan hilangnya rasa aman di masyarakat. Sementara yang disaksikan adalah amuk massa dengan korban massa (massive concequences against the people).
Tahun-tahun reformasi justru semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kelas paria dan politisi. Dimana setiap peristiwa justru menguatkan pengalaman kolektif, tentang perang suksesi dan konflik kekuasaan. Keadaan yang sebenarnya tak menyapa persoalan mereka. Belum lagi ditambah ketakutan integritas NKRI yang menjadi bara dalam sekam, Tim-Tim lepas, Aceh memberontak, Irianjaya bendera ‘Bintang kejora’nya masih juga berkibar. Demam milisi bertebaran dimana-mana. Satgas parpol pakaiannya sudah seperti pasukan perang zaman revolusi.
Maka ketika Mbak Tutut muncul sebagai calon presiden, atau orde baru bersama kawanan jendralnya yang berderap :”I will be back,” janganlah dipandang sebagai overmacht dalam sistem politik kita. Fenomena ini sesungguhnya sangat wajar dan bukannya sesuatu yang diluar dugaan. Sesuatu yang seharusnya sudah dipikirkan para teknokrat republik ini, ketika yakin mendayung ke era transisi.
Masyarakat kita tengah berada pada kondisi post-otorianisme, sebuah pergeseran sosial kepada sistem yang sebelumnya tak terbetik dalam benak mereka.
Kegagapan sosialpun terjadi, ketika sistem itu justru tidak memberikan arah kemana akan berjalan. Sementara yang tertangkap adalah efek negatif dari sistem tersebut. Wajar jika masyarakat kemudian memandang reformasi dengan picingan mata yang skeptis.
“Reformasi setengah hati, kebebasan yang kebablasan,” kata suara-suara dari barisan kelas babu itu. Yang kemudian mengelu-elukan masa lalu, yang aman dan damai. Adanya konglomerasi pada zaman orba dengan kekuasaan raja midas semacam Bob Hasan, Sudwikatmono dan Tommy Soeharto, bagi masyarakat kita tidak terlalu menjadi persoalan, dibandingkan harus hidup ditengah suasana kisruh dan krismon yang mampet seperti sekarang. Masyarakat akan mudah melupakan korupsi Soeharto yang merugikan negara Rp 1,4 triliun ditambah US$ 416 juta itu, karena nyatanya pada ‘orde babe’ politik dan hukum berjalan tanpa kisruh.
Tak mengherankan jika kelak rakyat kita akan kembali “mimpi kali yee” terhadap Mbak Tutut, yang dialek putri Solo-nya menentramkan itu. Karena cara berpikir rakyat kita tidak ruwet seperti editorial Koran Tempo (5/12/2003), yang membandingkan kecerdasan Tutut dengan Benazir Bhutto, Gloria Macapagal Arroyo atau Megawati sendiri, anak-anak penguasa yang menjadi penguasa. Apalagi dalam masyarakat agraris tradisional, hal semacam itu sesungguhnya sangat lumrah. Persoalan politik bagi masyarakat sudah diyakini hanya milik para bangsawan, dan bagi mereka yang memunyai “trah ing kusuma.”
Wahyu kekuasaan akan jatuh pada mereka yang memang memiliki klan raja-raja, seperti Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Yang berhak menyandang gelar sultan Hadiwijaya dengan menjadi penguasa Pajang. Kalaupun ada rakyat kecil yang berhasil melakukan mobilitas vertikal, seperti yang dilakukan Senapati Sutawijaya dalam merebut kekuasaan Mataram. Itu hanya sedikit kisah dari kisah raja-raja Jawa, dan realitas yang tidak umum. Karena memang ungkapan : tunggak jarak mranjak, tunggak jati mati (yang berarti keturunan rakyat jelata menjadi kelas penguasa) masih dianggap sebagai sesuatu yang subversif.
Republik ini dibangun atas paradigma tradisional, yang sarat dengan mitologi dan klenik para tokohnya. Ada jarak yang terlalu jauh antara penguasa dan kawula, karena terbiasa ‘mengalap berkah’ dari sepatu para priyayi dari keratonan yang hipokrit.
Jika kemudian pada suatu hari yang cerah bernama 20 mei 1998, semua itu bubar dan terdekonstruksi, sangat wajar jika rakyat mengalami kebingungan kolektif. Tidak memahami apa maksud pengembalian kekuasaan dengan supremasi sipil. Dimana filosofinya juga diimipor jauh sana dari daratan eropa, yang sudah melakukan revolusi industri pada saat kita sibuk perang Diponegoro dan Imam Bonjol. Pentingnya kebebasan sipil tak bisa dibaca oleh barisan para babu, karena ternyata yang mereka tangkap adalah kerusuhan sosial dan kesimpangsiuran politik ekonomi, yang justru menjebak masyarakat pada kondisi putus asa. reformasi dan eofuria sipil ternyata tak menjanjikan apa-apa.
Kalau kemudian masyarakat merindukan suasana di zaman moyangnya, yang hidup aman meskipun dibawah hegemoni ‘lalat ijo’ dan birokrat, apa salahnya. Toh masyarakat sudah terlalu lama hidup dalam sistem paternal, yang percaya adanya hidup yang lebih aman dan tentram dibawah pengayoman para bangsawan. Sesuatu yang juga dibangun oleh Soeharto selama 23 tahu kekuasaannya. Betapa sosok yang kini mandito ratu itu begitu kuat mencitrakan kekuasaanya yang dekat dengan wong cilik, meskipun banyak wartawan yang menganggapnya untouchtable dengan senyumnya yang ambigu.
Bisa jadi, pengalaman masa transisi ini membawa masyarakat kembali pada trauma liberalisme ketika orde baru dulu terbentuk. Sistem multipartai yang justru membuat pemerintahan Soekarno tambal-sulam. Inflasi tak terkendali dan kelaparan dimana-mana. Pidato tujuhbelasan ‘Bung Besar’ itu tak lagi didengar, karena rakyat jengah dengan kesulitan hidup yang melilit. Sementara Soeharto tiba-tiba hadir sebagai messiah, dengan sekoper slogan pembangunan dan developmentalisme. Kemakmuran rakyat, pemerataan ekonomi, bisa dengan tulus diucapkan pak camat dan uspika ketika memberi sambutan digedung serba guna. Ternyata kini ada spanduk partai yang mengenangkan masa indah itu, “Kembali ke Partai Golkar Demi Kesejahteraan Rakyat”.
Membaca fenomena Mbak Tutut, sebenarnya sudah dimulai fenomena apresiasi masyarakat kita terhadap sinetron. Transisi yang tak kunjung memberi harapan datangnya kemapanan, membuat masyarakat kita lari kepada ‘impian’. Kelas babu yang hidup dirumah-rumah kardus, sangat butuh tontonan istana yang magrong, dengan berbagai tragedi cinta yang mampu merelaksasikan keruwetan hidup mereka. Cermati saja sinetron Tersanjung, yang dari anak sampai cucu tak jelas kapan bubarnya. Masyarakat urban sangat butuh hiburan tentang lifesyle yang diwakili tayangan ‘gosip’ dan infoteimnent lainnya. Tak jauh beda dengan togel yang merajalela hingga ibu-ibu rumah tangga. Keasyikan mereka dalam mengecak nomor, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa sosial biasa. Itu adalah sebuah ritual psikologis, dimana harap-harap cemasnya mampun membangkitkan selera mereka atas impian dan harapan.
Mengembalikan rasonalitas republik ini bukan hal yang mudah. Reformasi baru lima tahun. Sementara kekuasaan hegemonik model raja Jawa tak terhitung lamanya.
Masyarakat sudah terbiasa dengan kemungkinan imam mahdi, yang terwakili oleh selembar kupon togel, atau pencalonan Mbak Tutut di bursa presiden saat ini. Krisis moneter mau tak mau memang berimbas pada lumpuhnya akal sehat masyarakat kita.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya kita berharap kepada para teknokrat dan kelas menengah republik ini, yang pada mereka rasionalitas lebih dahulu dihidup-setubuhi. Dimana makna demokrasi, nation, dan kerakyatan dapat dicerna dengan akal yang sehat. Sambil menunjukkan kepada bangsa perlunya sikap kritisisme.
Kita butuh keteladanan kelas berpendidikan yang tahu bagaimana “membersihkan rumah, membakar sampah, mengusir setan,” kata Afrizal Malna. Dan memang hal semacam ini juga sudah dilakukan para terpelajar Indonesia.
Kita dulu ada Rendra yang membacakan puisi pampletnya dimana-mana. Ada advokat bersih semacam Yap Thiam Hien. Ada anak muda seperti Budiman Sudjatmiko. Ada NGO-NGO yang meskipun masih pakai “modal asing” sudah berjuang memberdayakan dan mencerdaskan para kuli di perkotaan-petani di pegunungan. Kita ada media seperti Indonesia Raya, Tempo, Detik, yang berani merdeka ditengah kekangan pers yang tak kepalang memenjarakannya.
Banyak sudah kelas menengah kita yang telah berjuang “mengusir setan”. Baik “setan” tokoh, “setan” hegemoni, “setan” kebodohan dan keterbelakangan.
Jika kemudian pada pemilu 2004 yang merupakan tahun ke-6 reformasi, ternyata Mbak Tutut melalui restu Pak Harto dicalonkan presiden oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pimpinan R Hartono, yang didukung kuat oleh barisan Orde Baru, berarti masih ada segolongan orang yang meyakini bahwa rumah-rumah rakyat kita belum berpihak benar terhadap reformasi. Belum berpihak benar dengan keyakinan jika kita telah terjajah selama 32 tahun pada zaman “Orde Babe”. Atau memang reformasi yang tak kunjung jua mengusir para “setan” dari negeri ini?[] Khairul Anom