Alat resminya adalah undang-undang, yang menjadi kaki tangan boleh siapa saja, dari tentara sampai menteri penerangan. Maka dimulai dengan UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, kemudian UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Pokok Pers, pemerintah menjadi sosok yang untouchtable.
UU No. 11 Tahun 1966 yang lahir pada tahun-tahun pencarian demokrasi, adalah undang-undang yang sangat ketat mengendalikan pers. Bahkan konsiderannya sendiri menyebutkan bahwa pembinaan pers ada di tangan pemerintah. Di era Soekarno ini, pers diharuskan menjadi pembela, serta alat penyebaran Manifesto Politik. Penerbitan yang tidak mengikuti ketentuan ini dapat dikenakan sanksi; dicabut izin terbitnya, atau tidak memperoleh izin pemakaian kertas yang di subsidi oleh pemerintah.
Keadaan ini diperburuk lagi ketika Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban juga memberlakukan Surat Izin Cetak (SIC), dan Surat Izin Terbit (SIT). Menjelang berakhirnya Orde Lama, pemerintah sempat mencabut SIT dan SIC beberapa media yang terkait simpatisan dengan Badan Pendukung Soekarno (BPS). Ada 21 media di Jakarta dan Medan, antara lain: Merdeka, Indonesian Observer, Berita Indonesia, Warta Berita, Semesta, dll.
Pemerintahan Orde Baru memulainya dengan pembredelan media yang terkait simpatisan dengan PKI. Jumlahnya 46 dari 163 media yang waktu itu ada di seluruh Indonesia. Media-media itu dilarang terbit untuk waktu yang tidak ditentukan.
Begitu pula ketika pecah peristiwa Malari. Puluhan media dibredel secara serentak, seperti Indonesia Raya, Pedoman, Kami, The Jakarta Times, Abadi, Mahasiswa Indonesia, Ekspress.
Media kampus juga tak luput dari pembredelan, antara Salemba, Tridarma, Kampus, Integrasi, Berita ITB, Muhibah, Aspirasi. Meskipun dari beberapa media itu kemudian ada yang dicabut kembali keputusan pembredelannya. Kecuali Indonesia Raya, pembredelan tahun 1974 ini menjadi liang kubur harian yang beberapa kali buka-tutup ini.
Tahun 1978 Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo membredel tujuh media nasional, yaitu: Kompas, Sinar Harapan, The Indonesian Times, Merdeka, Pelita, Sinar Pagi, Pos Sore, serta tujuh media kampus. Penutupan itu hanya berlangsung dua minggu setelah para pemimpin redaksi membuat kesepakatan untuk memelihara stabilitas nasional.
UU No. 11 Tahun 1966 ini baru mengalami perubahan dua dekade kemudian. Yaitu dengan keluarnya UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Pokok Pers. Undang-undang ini mencabut Lembaga SIT Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Secara umum undang-undang ini sangat dipengaruhi oleh semangat teknokratik dan developmentalisme, yang sedang digalakkan oleh pemerintah Orde Baru. Dan undang-undang ini memang menghapuskan lembaga bredel, namun pemerintah masih dapat melakukan penutupan terhadap perusahaan media melalui pembatalan SIUPP. Maka pada prinsipnya, peraturan tentang bredel tidak mengalami perubahan, hanya pergeseran istilah saja.
Pada Oktober 1986, Menpen Harmoko membredel harian Sinar Harapan. Alasannya harian itu menuliskan tentang devaluasi yang dianggap spekulatif dan meresahkan masyarakat. Pada Februari 1987, ia kembali membredel harian Perioritas. Koran ekonomi itu ditutup karena menurunkan tulisan berjudul: “Hutang Luar Negeri 6,7 Trilyun Jatuh Tempo.” Pada 21 Juni 1994, giliran majalah Tempo. Majalah itu dibredel lantaran memberitakan tentang pembelian kapal bekas dari Jerman Timur oleh Angkatan Laut. Tahun yang sama majalah Editor dan tabloid Detik juga dibatalkan SIUPP-nya. Alasan resmi pemerintah mengenai pembatalan SIUPP Editor, karena majalah itu tidak mengajukan nama baru bagi pemimpin redaksi dan pemimpin umum, yang sudah tak aktif sejak tahun 1993. Adapun Detik, diputuskan melakukan penyimpangan perizinan, dari tabloid informasi detektif dan kriminal menjadi tabloid politik. Tahun 1998, majalah DR:Detektif Romantika juga dibatalkan SIUPP-nya oleh Menpen Harmoko, karena dianggap melecehkan Presiden Soeharto. Dari beberapa media yang dibredel diatas, dua diantaranya sempat melakukan tuntutan ke pengadilan. Dimulai oleh Perioritas yang mengajukan judicial review (hak uji materiil) ke Mahkamah Agung. Perioritas menuntut agar Permenpen No. 1 Tahun 1984 dibatalkan. Namun tuntutan ini tidak berlanjut, karena Mahkamah Agung justru mengeluarkan keterangan peraturan tentang judivial review.
Berbeda dengan Prioritas, Tempo mengambil langkah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan majalah yang Pemimpin Redaksinya Goenawan Mohamad ini sekaligus menjadi sejarah pertamakalinya kebijakan bredel digugat. Di tingkat pengadilan tinggi, gugatan ini sempat dimenangkan oleh Tempo. Namun ketika kasasi di Mahkamah Agung (MA), Tempo mengalami kekalahan, dengan alasan tindakan Departemen Penerangan ketika itu bukan pembredelan, melainkan pembatalan SIUPP. Putusan ini pun menimbulkan polemik, salah satunya karena dianggap bertentangan dengan maksud pasal 15 UU No. 21 Tahun 1982, bahwa apabila terjadi kesalahan yang dihukum adalah wartawan, bukan lembaga atau perusahaan penerbitan.
Angin kebebasan pers berhembus seiring dengan datangnya reformasi. Yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, dan digantikan oleh BJ Habibie yang semula menjabat wakil presiden. Turunnya Suharto yang berarti juga berakhirnya rezim Orde Baru inilah, yang kemudian menjadi perubahan besar pada pemerintahan Indonesia. Era reformasi dimulai, dengan dibukanya kebebasan dalam berdemokrasi. Ini juga berpengaruh pada perubahan kebijakan pemerintah terhadap pers. Ketika Menteri Penerangan dijabat oleh Yunus Yosfiah, lahirlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diundangkan pada 23 September 1999. UU No. 40 Tahun 1999 ini ini menghapuskan lembaga SIUPP. Keberadaan undang-undang ini kemudian diperkuat kembali pada kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, yang membubarkan Departemen Penerangan. Sehingga Intervensi pemerintah terhadap pers dihapuskan sama sekali. Musim semi pers pun dimulai, dengan bermunculannya penerbitan media baru, baik lokal maupun nasional. Rakyat bebas menerbitkan media, karena tak lagi “hantu” SIT, SIC, atau SIUPP. Kebebasan pers yang disambut dengan banyaknya media yang lahir ini, memberi suasana kompetitif dalam dunia pers. Masing-masing media berebut pasar untuk kelangsungan kehidupannya.
Meskipun kebebasan pers ini juga, tak luput meninggalkan dampak negatif bagi kehidupan jurnalisme. Terutama dengan banyaknya yellow press (media kuning), yang mengeksploitasi teks dan foto menjurus pornografi dan kekerasan. Banyak pula yang cenderung provokatif, atau menjadi alat kepentingan bagi orang atau kelompok tertentu. Juga media-media yang membesarkan debat publik yang artifisial dan lebih sebagai hiburan.
Namun menyikapi fenomena yang terakhir ini, ada baiknya jika kita membaca kembali ucapan mantan Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson: “Dalam sebuah rezim yang bebas, kita bakal mendapatkan pers yang baik maupun buruk. Tetapi pada rezim yang penuh kontrol, kita hanya mendapatkan pers yang buruk, pers yang terlibat dalam kebohongan atau kebenaran yang setengah-setengah, karena ia dilarang menceritakan kebenaran yang seutuhnya.”[] Khairul Anom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar