Kalau ingin belajar toleransi antarumat beragama, antar suku atau antar nation, belajarlah dari jagat hiburan. Yakinlah bahwa ‘ajaran’ hiburan paling tidak ambil pusing dengan soal warna kulit dan kebudayaan. Setidaknya dalam dunia hiburan tidak mengenal perang dingin antara Timur dan Barat. Dulu ketika kita hidup di zaman Soekarno, yang meskipun represif terhadap budaya nekolim Amerika, Koes Bersaudara sudah menyanyikan ngak ngik ngok ala The Beatles.
Sejak TVRI berdiri 1962 hingga menjamurnya televisi partikelir sekarang, tayangan hiburan dari Tangkiwood, Bollywood, sampai Hollywood, semuanya bisa tampil sepanggung dengan damai. Bahkan saling berbagi. Kita dulu ada A Rafiq yang fasih berdendang “dangdut India”, atau kini Warkop Millenium yang suka memajang swimsuit gadis pantai ala Baywacht. Tak ada soal apakah Britney Spears yang sekarang kawin, besok cerai sesuai dengan kebudayaan Timur, semuanya bisa diterima dengan baik oleh dunia hiburan. Termasuk Inul, yang dulu keliling Pasuruan kini keliling dunia. Televisi adalah media yang paling bisa bertoleransi dengan pelbagai macam dunia, termasuk dunia gaib sekalipun, karena Pak Leo dalam Percaya Nggak Percaya bisa mengajak hantu untuk sama-sama menjadi artis. Televisi, siapa yang sanggup membantah jika kotak ajaib itu kini dapat dikatakan semata-mata sebagai panggung hiburan.
Everything is show! Itulah ideologi para televisi kita. Dari tayangan yang memang benar-benar disiapkan sebagai hiburan seperti sinetron, telenovela, konser musik, sampai berita infotainment yang mengulas tuntas kehidupan selebriti. Bahkan tayangan berita kriminal serius semacam Buser atau Patroli, justru menjadi tontonan yang real show karena berdarah-darah menayangkan mayat membusuk di selokan atau penjahat yang tertatih-tatih ditembus timah panas. Siapa bilang nonton maling lebab digebuk massa, atau PSK pontang-panting diuber petugas ketertiban bukan sebuah hiburan? Begitulah hasrat hiburan di televisi yang terkadang menembus batas nilai-nilai. Kalangan agamawan maupun moralis boleh gerah dengan tayangan yang “pusar mainded” atau “darah mainded”. Tapi kalau aspirasi dunia hiburan sudah menghendaki, maka yang berbicara adalah rating, iklan, dan stabilitas modal.
“Lho, inikan tuntutan pemirsa,” begitu kira-kira jawaban produser dan broadcaster yang menjemukan itu, tapi toh mereka “cari makan” juga. Sebab bisa jadi pertaruhan pemilik Production House itu cuma sederhana, kalau tak untung, ya rugi. Ingat kasus sekuel Oh Mama! Oh Papa! (OMOP) yang berjudul Aku, Perempuan, dan Lelaki Itu (1995). Sinetron besutan Aria Kusumadewa itu ditolah tayang oleh pihak Anteve, lantaran cerita dan gambarnya susah dicerna oleh penonton. Sehingga bagi Anteve yang memegang hak siar program OMOP yang diambil dari Majalah Kartini itu, lebih baik kehilangan satu sekuel dari pada kehilangan penonton.
Maka jangan menggunakan terminologi khusnudzan atau suudzan dalam menganalisa tayangan di televisi. Misalnya program ceramah Aa Gym di Istiqlal, atau Krisdayanti berjilbab dalam sinetron ramadan, bukan lantas menjadi kecenderungan religiuitas pemilik televisi. Begitu pula program Srimulat, Wayang Kulit, atau Lenong, tidaklah semata-mata karena ingin mengangkat seni tradisi. Seperti juga dengan sinetron Wali Songo, Sangkuriang, Jaka Tingkir, atau sinetron lain yang bersetting sejarah. Tidaklah itu dibuat sekedar itikad untuk menyelamatkan cerita lokal ansich. Karena ternyata para jawara itu beradu tanding lebih sebagai pendekar mandarin ketimbang jagoan Jawa, yang kalau sudah marah mirip sekali dengan The Crow-nya Mark Dacascos. Yakinlah “niyat ingsun” semua itu tetap kembali pada hitung-hitungan marketing, persoalan laku tidak laku. Kalaupun ada hitung-hitungan lain, itu barangkali sepersekian persen saja.
Maka jangan terlalu “geer” kiranya para moralis kita, ketika 18 Desember 2003 lalu para pengusaha televisi bersepakat membuat Kode Etik Pedoman Perilaku Televisi. Menyikapi banyaknya gugatan masyarakat mengenai tingginya tayangan kekerasan dan pornografi di televisi. Kode Etik itu tidak lebih sebagai urut balsem buat sakit gigi. Seperti yang dikatakan Arswendo Atmowiloto, bahwa segala bentuk larangan atau penghentian atau pemekaran yang tidak memahami karakteristik media massa, akan sia-sia dan berlaku sementara. Maka tak bisa lagi mengukur televisi sekedar dari paradigma etika dan moral atau kalkulasi lain yang “a” kapital. Tak ada urusan apakah “tuyul”itu “syirik”, tapi kalau kebutuhan mata penonton membutuhkan “roh halus”, televisi akan tetap membuat Tuyul & Mbak Yul, Putri Duyung, dan Jinny Oh Jinny. karena tayangan hantu juga ternyata menjadi primadona, baik untuk sinetron yang benar-benar misteri atau sebatas komedi situasi. Tontonan “abrakadabra” pada beberapa sinetron bahkan menduduki rating tinggi.
Terlepas “apa perlunya” tayangan gosip, yang membahas tentang warna yang paling disukai Lulu Tobing, atau apakah Elma Theana bercerai lantaran orang ketiga. Nyatanya “jurnalisme pergunjingan” semacam Chek & Rechek, KISS, Kabar-Kabari, Halo Selebriti masih menjadi tempat penonton untuk memanjakan keingintahuan mereka mengenai bintang idolanya. Seolah banyaknya infomasi kita mengenai sang tokoh, akan membuat kita semakin dekat dengannya. Apalagi jika itu diperkuat dengan gambar atau memakai pelbagai aksesori yang juga dikenakan sang idola. Bahkan bila perlu sesekali penonton diberi kemungkinan “wahyu” bertemu idolanya dalam tayangan Mimpi Kali Yee. Yang seakan-akan para idola itu adalah tokoh imajiner yang hidup di dunia antah-berantah, yang berbaik hati menemui para fansnya.
Walaupun kini ada tayangan yang menggunakan metodologi terbalik, yaitu pemirsa yang menjadi berita. Tonton saja tayangan reality show Katakan Cinta, Harap-Harap Cemas, atau Playboy Kabel.
Memang, dalam paradigma hiburan segala sesuatunya hampir tidak terlalu serius membicarakan : perlu tidak perlu, efisien tidak efisien atau mutu tidak mutu. Karena motifnya juga cuma sederhana : have fun dan bersenang-senang.
Berbeda misalnya dengan kasus TVRI zaman orde baru yang berkesan sangat ideologis itu. Dimana punakawan di Ria Jenaka bisa berceramah soal Pancasila, tayangan Musik Pop Daerah, dan Dari Desa ke Desa. Karena saat itu pemerintah memang bersikap tangan besi untuk yang namanya integrasi bangsa. Terbukti, setelah reformasi datang, televisi negara tersebut nyaris ditinggalkan bersama perginya priyagung penerangan Harmoko.
Televisi punya dunianya sendiri. Berbeda dengan dunia perbankan yang dapat terjadi penurunan suku bunga kredit karena popularitas pemerintahan, atau pemerintahan yang tak populis karena inflasi atau kerusuhan sosial. Televisi nyaris yang paling selamat dari fluktuasi kondisi sosial. Karena matematika mereka jelas, masih adakah peluang kue iklan di Indonesia sanggup menghidupi mereka. Membangun stasiun televisi adalah soal bisnis, entah itu bisnis yang memang menjadi fitrah media massa: informasi, atau sekedar bisnis eksploitasi hiburan. Apapun namanya, pasar iklan kita ternyata masih dianggap subur oleh para investor. Bagi mereka Indonesia yang menginjak akhir dekade 1990-an dengan hanya memiliki 5 stasiun televisi swasta tidaklah cukup. Karenanya pada 2001 lalu para konglomerat itu pun masih ramai-ramai bikin televisi. Kelompok Kompas-Gramedia yang merajai bisnis koran dan buku bikin TV-7. Kelompok Bank Mega bikin Trans TV. Termasuk mantan Menaker Abdul Latief ikut pula bikin Lativi lewat Alatief Corporation. Sementara Bambang Trihatmodjo melalui PT Bimantara bikin Global TV, meskipun sudah mempunyai SCTV dan RCTI. Bisnis anak-anak Pak Harto memang agak sukses di bidang televisi, seperti Tutut yang memiliki TPI. Sebelumnya ada Grup Media Indonesia yang bikin Metro TV. Ini setidaknya membuktikan bahwa pasar iklan memang tidak ada matinya berbagi jatah.
Maka jangan terlalu berharap bahwa orang bikin televisi untuk dipersembahkan kepada publik. Atau untuk memperkaya informasi dan kebudayaan masyarakat penonton kita. Bisnis televisi adalah urusan kapitalnya masing-masing. meskipun setiap televisi sibuk membangun karakter dan mainstremnya, yakinlah bahwa mereka masih mengabdi pada selera pasar yang sebenarnya itu-itu saja. Masih berkutat pada generasi lifestyle semacam MTV, pada tontonan haru-biru “bertangiskan bombay”, atau tayangan “berdarah” dan “berlendir”. Idealisme barangkali masing ada, sepanjang itu tidak berbenturan dengan kalkulasi kapital. Metro TV misalnya, stasiun ini mengklaim sebagai televisi berita pertama di Indonesia dengan segala macam idealismenya. Boleh dikata televisi berlogo kepala burung ini ingin mengikuti jejak Cable News Network (CNN) yang memang legendaris. Stasiun ini seolah hendak melampai publik penonton kita yang urban dan folkculture. Dengan tayangan untuk “kasta berdasi” yang sepertinya butuh berita banget, dengan siaran langsung dan berita on the spot yang serba cepat. Serta nama program yang sangat Americanize dengan tayangan hiburan bertitel Showbiz News, Life in Plaza. Ditambah lagi penyiar beritanya yang meskipun berbahasa Indonesia tapi logatnya Amerika.
Televisi adalah televisi. Bagaimanapun juga adalah sebuah produk kebudayaan. Kalaupun kemudian ada yang beranggapan bahwa kebudayaan di televisi hanya berwajah hiburan yang berkelas rendah (pendapat ini tidak berlaku bagi kaum postmodernisme), begitulah realitasnya.
Veven Sp Wardhana pernah menulis, bahwa sebagai institusi sosial, atau sebagai perangkat sosialisasi tata nilai, atau sebagai apapun, tayangan televisi di negeri ini tak perlu dirumus-rumuskan. Produk budaya televisi ada bukan karena dirumuskan. Dia bakal ada dan lahir. Barangkali tak perlu terlalu sibuk, seberapapun berat kita berfikir, the show must go on![] Khairul Anom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar