“Ninggalin film tak bermutu lebih gampang,” begitu kata Panji Utama dalam tulisannya “Aha!Gua Bikin Pelem dan Emak pun Menangis” (Lampost/12/1/03). Sebuah pesimisme pemikiran yang mungkin wajar, seusai kita menyaksikan Festival Film Independen (FFI) Yang diadakan KF DKL kemarin. Sebab dari sana hanya tersisa realitas yang mungkin getir: peserta yang cuma 6 film, fasilitas yang tidak profesional, film mentah yang bersuara berisik karena microfon melawan angin, editing yang seolah pakai gunting, film dengan ide antah-berantah, serta ponten yang tak pantas menggunakan juara satu. Sehingga nonton film bukannya terhibur, tapi tersiksa. Terlebih lagi tradisi permissif kita belumlah hilang, dengan bersembunyi dibalik slogan amatiran dan independen, seolah menjadi permaafan bagi sineas Lampung untuk memproduksi karya-karya sampah.
Sesuatu yang jauh panggang dari kayu bakar, apabila kita membandingkan film-film serupa dari komunitas-komunitas film yang tengah menjamur di Jawa, seperti Yogyakarta dan Jakarta.
Tonton saja film Storyboard yang memenangkan FVII 2001 lalu, meskipun hanya berdurasi 20 menit, film ini mampu membangun ketegangan bahkan dimenit pertama. Bukan film Lampung, yang kata Panji membutuhkan kesabaran hingga menit terakhir.
Terlebih lagi apabila bicara soal intensitas karya, cukup dengan bermodal VCD atau S-VHS Player, proyektor, dan layar putih, mereka rajin menggelar pertunjukan dari satu hall ke hall yang lain. Meskipun dengan fasilitas – berangkat dari yang ada-, mereka mampu menjual ide mencerdaskan dan semangat berkesenian yang sesung-guhnya.
Namun menyimak pesimisme Panji, perlu juga mungkin kita menyimak diskusi sastra dengan para Penyair Ujung Pulau yang juga diadakan Lampung Art Festival. Yaitu ketika seorang penyair bertanya, mengapa para penyair dibebani oleh ruang yang begitu berat : tentang nasionalisme, tentang otensitas karya, tentang otonomisasi puisi dan sebagainya.
Maka apa pula dosanya jika sineas indie Lampung juga bertanya : mengapa anak-anak yang baru memahami handycam, belajar mengenali betacam, gagap dengan Adobe Premiere, harus juga di bebani dengan ide demikian berat. Mengapa kita harus disodori pemikiran ruwet. Bukannya malah bertanya, setelah orang sekian lama, kok kita baru sekarang berkarya?, entah kalau pertanyaan ini pun ternyata bagian dari tradisi permisif kita yang menyebalkan itu.
Tapi toh, kalau kita mau mengurai asal-usulnya, nama film independen sendiri sesungguhnya tidak seserius pelembagaan mainstream film yang kita pikirkan selama ini. Karena di Barat sana, film-film semacam ini pada mulanya hanya disebut sebagai “Cine Anthuciast” atau “Cine Hobbyst”, yaitu sekelompok anak-anak muda yang kebetulan suka mengutak-atik kamera. Mereka membuat cerita, tokoh, dan merekamnya secara sederhana. Yang hobi ini kemudian menjamur, sehingga banyak anak-anak muda membuat kelompok amatieur filmakers, yang tak terasa dilembagakan sebagai film independen. Pun itu tidak lebih sebagai pemuas napsu artistik, atau paling banter penunjukkan eksistensi dan identitas diri saja.
Meski kemudian bagi mereka yang sudah bisa membuat major moution picture, mulai berpikir tentang perlawanan terhadap studio-studio besar, ini adalah fenomena ideologis saja. Tapi bahwa kata dasarnya : ”Ya udah, bikin-bikin ajah!” ini yang harus kita perhatikan. Jadi kenapa harus berpikir ruwet? Toh bikin film tidak harus pakai seluloid seperti jaman Oom-Tante kita dulu, yang bahan bakunya ditimbang secara kalengan.
Terlepas dari sampah tidaknya produksi film Lampung kita, percayalah, bahwa dizaman global yang coca-cola ini, ada semangat berkreatifitas dengan orisinalitas nilai yang patut kita hargai. Setidaknya untuk menghibur ketika orang bertanya, bahwa ditengah booming film, sinetron, dan iklan sekarang ini, tak ada jaminan bagi ruang-ruang publik kita untuk lebih berbudaya.
Ketika TVRI menayangkan Isadora, tak terasa sudah 18 tahun keluarga kita telah menjadi telenovela. Dan 18 tahun pula barangkali kita tak berubah tema, kecuali gadis miskin tapi cantik yang selalu di sia-sia, sehingga hadir sang pangeran dari keluarga kaya yang datang menolongnya. Diakui atau tidak, tayangan telenovela telah membuat satu pergeseran dan disorganisasi sosial dari keluarga kita. Citra keluarga tradisional mulai terbunuh, setidaknya ketika ibu menyusui dan menyisir rambut anaknya telah tergantikan dengan babysitter dan omplong susu. Orang-orang kaya yang selingkuh, mertua pendendam, rumah besar yang penuh derai air mata - karena kegagalan cinta, membuat kehidupan tidak lagi menjadi subtil, dan harmonisasi suami istri tak lagi sakral. Demikian pula dengan citra modernitas yang disimbolkan begitu verbal, misalnya dengan slogan : pakailah celana ini atau makanlah ini, dan anda akan jadi Amerika!
Maka wajar menyikapi anomali sosial semacam ini, anak-anak muda dengan keyakinan idealisme mereka mencoba meneriakkan kata-kata Wiji Thukul : “Hanya ada satu kata, lawan!” Dan bergerilyalah filmaker yang penting bikin itu dengan film-film pendeknya. Dan di kampus-kampus mereka bisa menunjukkan kepada mahasiswa lain, bahwa untuk menikmati sesuatu yang berselera, tidak harus mengunjungi bioskop 21. tapi bisa disini, 30 menit saja. Bahkan di Amerika sana ada kecenderungan sama walau dengan takaran dan motif yang berbeda, yaitu yang disebut New America Cinema, sebuah bentuk perlawanan terhadap studio-studio besar yang dikuasai oleh Hollywood.
Oh Film, Oh Pasar
Mengusung idealisme dalam film mungkin ada pahitnya, setidaknya bagi Aria Kusumadewa. beberapa tahun lalu sinetronnya Antara Aku, Kau, dan Laki-Laki Itu, yang menjadi sekuel program Oh Mama Oh Papa harus terdepak dari ANTEVE, lantaran film itu dianggap terlalu absurd. Sehingga membahayakan bagi mata penonton fanatik mereka, yang pada akhirnya berbahaya pula bagi stabilitas iklan. Penonton dianggap tidak cukup cerdas untuk mencerna kata-kata : “Apakah sepatu memiliki kelamin? Sehingga harus ada sepatu laki-laki dan perempuan?”
Ini adalah sebuah realitas, bahwa ada tidaknya sebuah film tidak selamanya tergantung pada isi kepala seorang sineas. Seorang pembuat film harus siap berdialog dengan produser dan pemasang iklan, bahkan bila perlu sampai ke ide cerita. Dan itu intinya komesialisme, seorang produsen tentu tidak ingin filmnya ditinggalkan karena membuat puyeng penontonnya. Dan ini yang dialami Garin Nuhroho dalam filmnya Bulan Tertusuk Ilalang (1994), karena alur yang tak teratur, minim dialog, ide yang gelap, film ini tidak ditonton orang karena membuat sakit kepala. Dan alhasil di FFAP 1995, film ini tidak mendapat apa-apa.
“Untuk Eliana, saya berani melawan itu.” Kata Riri Riza, sutradara eliana, Eliana! mengomentari begitu berkuasanya raja bernama pasar. Ia yakin untuk melawan arus itu dengan tetap bertahan pada idealisme seorang sineas. Dan hasilnya pun kita tahu, film ini tidak meledak seperti filmnya terdahulu : Petualangan Sherina, yang menurutnya memang dibuat untuk tujuan komersialisme. eliana, Eliana! satu nasib dengan Beth, harus terdepak dari bioskop, dan justru menguras kocek para pemainnya. Beruntung Rudi Sujarwo, Ada Apa Dengan Cinta? yang merupakan debut pertamanya di layar lebar meledak abis-abisan di pasar. Dan Rudi yang sebelumnya undegroud tulen mulai diperbincangkan di pentas sinema kita.
Memang, untuk mengusung ide cerdas yang mencerahkan, apalagi yang tidak populis butuh perjuangan yang juga abis-abisan. Beranjak FFI Lampung Art Festival kemarin, kita telah memulai untuk melahirkan filmaker- filmaker baru. Sastra dan teater telah lama memulainya. Pertunjukan baca puisi dan pentas teater sudah jadi makanan kita. Tapi bagaimana dengan pemutaran film?
Semoga ini bagian dari ikhtiar kita untuk menyelamatkan generasi yang berada di mulut botol, kata Afrizal Malna. Dan sinema Lampung, meskipun agak telat, yakinlah- bahwa di dalam lubang Betacam anak muda yang coba-coba itu, tidak ada anjing. Mungkin setelah sekian lama bosan nonton orang nungging.[] Khairul Anom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar