2/08/2008

Jangan Sobek Layar Lebar Indonesia

"Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."

Ini adalah iklan film di surat kabar Bintang Betawi, 4 Desember 1900. Victor C. Mambor dalam tulisannya : “Satu Abad Gambar Idoep di Indonesia” menulis, dari iklan inilah orang Indonesia pertama kali mengetahui sebuah mesin yang bisa memutar gambar bergerak. Film pertama itu, adalah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag.

Sejak itulah film-film impor terus menghiasi bioskop di Indonesia, yang juga berdiri saat “gambar idoep” datang pertama kali. Bahkan bukan cuma film dari Belanda yang ketika itu melulu dokumenter. Film Amerika, 'The Life an American fireman' (1903) bikinan Edwin S Porter ikut pula diputar. Film ini sekaligus menjadi penanda lahirnya film cerita, di negeri yang kelak menjadi kiblat sinema dunia itu.

Sementara di Indonesia sendiri, film pertama kali dibuat di tahun 1926, judulnya 'Loetoeng Kasaroeng', dibuat oleh NV Java Film Company. Ketika film bisu itu dibuat, tak terasa bahwa film kita melintasi pelbagai zaman.

***

Mengawali tahun 2004 ini, sinema Indonesia lumayan mengalami “pesta rakyat”. Mulai menggeliat setelah sepuluh tahunan mengalami kebangkrutan. Ketika film 'Petualangan Sherina' garapan Riri Riza dan 'Ada Apa dengan Cinta?' bikinan Rudi Sujarwo meledak dipasaran. Para sineas kita seolah mendapat kalori baru untuk menggeliat, setidaknya dengan sebuah keyakinan bahwa masih ada masa depan bagi film Indonesia. Tahun lalu saja ada 15-an film sudah diputar. Meskipun ini bukan angka yang terlalu mewah jika menilik produksi film di tahun 80-an, yang tiap tahunnya mampu membuat film di atas 50 judul. Tapi ini cukup menggembirakan, karena dipenghujung tahun 90-an, jumlah film kita bisa dihitung dengan jari. Itupun tak seluruhnya diputar di bioskop, karena ada juga film yang hanya berhenti di layar festival.

Dan awal tahun ini beberapa film diputar hampir bersamaan. Ada film musikal 'Biarkan Bintang Menari' karya Indra Yudhistira, yang melejitkan aktis cantik Ladya Cheryl. Berderet kemudian '30 Hari Mencari Cinta' karya Upi Avianto, 'Eiffel I’m in Love' garapan sutradara kawakan Nasri Cheppy, termasuk film bikinan Nayato Fio Nuala: 'The soul'. Film terakhir yang dibintangi Marcella Zalianty itu, seolah semakin memantapkan magnitude film misteri di pasar film kita, setelah didahului oleh 'Jelangkung' dan 'Tusuk Jelangkung'. Nia Dinata yang sukses menggarap 'Ca-Bau-Kan', tahun ini juga memantapkan debutnya dengan meluncurkan film yang menampilkan sisi hidup kelas menengah perkotaan: 'Arisan'. Film-film ini yang kini menghiasi poster di bioskop 21, bersaing dengan film-film impor yang sejak dulu sudah mendominasi boskop milik pengusaha Sudwikatmono (dwi mono; 21) itu.

Usaha untuk mengembalikan “kehidupan” film nasional, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Masa-masa kritis film kita pada awal 90-an, publik sudah menyebut nama Garin Nugroho sebagai lokomotif kebangkitan film. 'Cinta dalam Sepotong Roti', saat itu meledak dipasaran dan mendapat apresiasi cukup besar. Setidaknya ada sebuah film “berselera” yang mencoba, mengimbangi film-film bertema seks yang menjamur ketika industri film Indonesia melesu. Di tahun 1994, Garin ingin pula mengulang sukses itu, ketika Dewan Film Nasional (DFN) mendanainya untuk membuat 'Bulan Tertusuk Ilalang'. Sayang, film yang dibintangi Paquita Wijaya ini tak cukup sukses mendatangkan penonton. Karena di film itu Garin dianggap terlalu berani melawan selera umum penonton kita dengan menuangkan ide dan gambar yang puitik. Bukan hanya karena film ini yang kental dengan nuansa kejiwaan, namun juga penggarapan alur yang tidak liner. Sehinga penonton membutuhkan sedikit waktu untuk bisa mencerna jalan ceritanya. Meskipun saat itu banyak orang berkomentar bahwa film ini memiliki kekuatan ide, namun dalam FFAP 1995 'Bulan Tertusuk Ilalang' tidak mendapatkan penghargaan. Garin juga membuat 'Surat Untuk Bidadari'. Namun film Garin yang barangkali tak akan dilupakan orang adalah 'Daun di Atas Bantal'. Film ini bukan hanya mampu menembus grup bioskop 21, tapi mendapat penghargaan di Festival film 'Cannes' dan beberapa festival film internasional. Tak berlebihan karena film ini memang dibintangi oleh Christine Hakim, aktris yang telah teruji pamornya pada film bermerek seperti 'Tjoet Nja’ Dien'.

Di era kevakuman film selama tahun 90-an, sebenarnya Garin tidak sendirian. Ada beberapa film yang sempat bersinar bintangnya Seperti film 'Taxi', garapan sutradara yang memimpin 'Teater Ketjil', Arifin C Noer. Film yang dibintangi Rano Karno dan Merriam Bellina ini yang kemudian memperoleh Piala Citra. Selain itu ada pula 'Telegram' garapan Slamet Rahardjo Djarot, dan dibintangi Sujiwo Tejo dan Ayu Azhari. 'Telegram' berkisah tentang seorang wartawan bernama Daku yang mengalami skiozoprenia, hidup dan bercinta dengan perempuan khayalannya. Film yang musiknya ditangani Djadug Ferianto ini juga mendapat beberapa penghargaan internasional. Marselli Sumarno menggarap 'Sri', yang bercerita tentang kesetiaan seorang istri muda kepada suaminya yang berada di ujung usia. Film ini juga mampu menembus bioskop 21, meskipun tidak terlalu sukses. Sementara itu Mira Lesmana 'cum suis' membuat 'Kuldesak', dan Nan T Achnas menggarap 'Pasir Berbisik'. Namun membicarakan film Indonesia tahun 90-an, nama Garin Nugroho-lah yang paling menonjol. Garin adalah sineas yang menjadi transisi sesudah generasi 1980-an seperti Arifin C Noer, Slamet Rahardjo, Teguh Karya, atau Chairul Umam. Karena nama Garin lebih dahulu dikenal dibanding Mira lesmana, Aria Kusumadewa, atau generasi paling bungsu seperti Riri Riza, Dimas Djay dkk.

Diantara sineas mutakhir, nama Aria dapat dibilang sangat idealis. Berbeda dengan Dimas Djay yang membuat 'Tusuk Jelangkung' memang untuk menjadi tontonan yang menghibur, Aria hampir tak pernah mau berkompromi dengan selera pasar. Filmnya 'Beth', yang meskipun didukung bintang terkenal seperti Ine Febrianty, Bucek Depp, dan Nurul Arifin, nyatanya ditolak diputar di bioskop 21. Karena film ini bukan hanya bercerita tentang perjalanan jiwa manusia, tapi benar-benar tentang kehidupan di “Rumah Sakit Jiwa Manusia”. Sehingga hampir tidak cocok bagi orang yang ingin menonton film untuk sekedar mencari huburan. Bayangkan, selama kurang lebih 90 menit penonton hanya diajak berputar-putar dibangsal dan komplek orang-orang gila. Ada orang gila mantan politisi yang selalu berkata: “Perkenalkan, ini kartu nama saya?” sambil menenteng poster seorang sipil Vietnam yang ditodong senjata. Atau seorang dokter gondrong yang penjilat dan mata duitan, serta suster yang menjadi gila lantaran depresi mengurusi orang gila. Film Aria yang lain juga nasibnya tak jauh berbeda. Seperti 'Novel Tanpa Huruf R', yang dibintangi Lola Amaria, aktris cantik yang pernah “digugat” nasionalismenya lantaran membintangi film buatan Tokyo Film Production berjudul: 'Merdeka'. Tak aneh jika film-film Aria kemudian banyak diputar secara undergroud di luar bioskop. Seperti gedung kesenian dengan penonton yang cenderung serius dalam mengonsumsi film.

Dan keberpihakan pada “selera” , itu pula yang dilakukan oleh Riri Riza ketika menggarap 'Eliana, eliana!'. Amalia Pulungan pernah menulis tentang Riri Riza di 'Pantau', dan Riri mengaku bahwa film 'Eliana, eliana!' memang untuk penonton yang mencari kemungkinan baru yang ditawarkan oleh film.

"Untuk Eliana, saya berani melawan itu. Karena apa? 'It's a low budget' film. Sebagai perbandingan, 'Petualangan Sherina' dan 'Ada Apa dengan Cinta?' dibuat dengan biaya Rp 2,5 miliar, sementara 'Eliana eliana' berkisar Rp 800 juta. Jadi, kalau sembilan dari 10 orang yang menonton bilang tidak suka, 'gue' sudah siap,” kata Riri Riza, sutradara muda yang pernah mengambil program master di bidang penulisan skenario film di Royal Holloway-London. Film yang dibuat dengan kamera digital ini sudah dipasarkan dalam bentuk VCD, dalam dilabelnya tertera 'I-Sinema'. Riri mengakui bahwa label itu adalah bagian dari gerakan sinema independen. Yaitu gerakan pembuatan film di luar studio besar Amerika Serikat. Menurutnya ada sesuatu yang dikandung dalam 'I-Sinema', yaitu unsur kebebasan. Terutama menyangkut pilihan teknologi pembuatan dan tema cerita.

Namun, jejak pembuatan film dengan kedalaman ide yang telah didahului oleh sineas seperti Garin dan Aria, ternyata tidak semuanya diikuti oleh generasi terakhir. Ketika film-film kini tak melulu berbicara tentang “budaya tinggi” seperti tema sosial, atau tema cinta yang lebih universal. Melainkan menggarap tema populer yang cenderung kompromistis terhadap pasar. Film 'simplistis' yang berbicara tentang kegandrungan anak muda akan percintaan dan 'lifestyle'. Tentang perburuan mencari pasangan dalam '30 Hari Mencari Cinta', ihwal persahabatan di kalanga remaja dalam 'Biarkan Bintang Menari'. Juga tema keseharian 'anak baru gede' tentang warna baju, potongan rambut, sampai 'ngrumpi' soal seks.

Tema-tema menghibur yang sebenarnya lebih dahulu digarap televisi melalui sinetron, 'infotainment' atau 'reality show'. Sineas-sineas muda ini seolah ingin membuat film yang dekat dengan kehidupan penontonnya,. Terlebih banyak dari mereka yang memulai karir sebagai pembuatan video klip, yang karakter “MTV” nya begitu kental sekali. Ini tampak sekali dalam komposisi gambar yang “kaya” karena mengandalkan kekuatan set dan pencahayaan.

***

Pada era kebangkrutan film tahun 90-an, sesungguhnya ada “anak sejarah” yang harus kita apresiasi : munculnya film-film independen. Yaitu pembuatan film berdurasi 30-an menit diluar studio, yang menggunakan alat rekam dan editing seadanya. Munculnya film independen yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda ini, sebenarnya banyak terinspirasi oleh menjamurnya teknologi digital, sehingga membuat film tak harus lagi menggunakan pita seluloid yang memerlukan biaya cukup mahal. Seperti dengan ada mahluk hibrida bernama 'handycam', yang sanggup merekam, editing, sekaligus menayangkannya. Begitu pula dengan kehadiran program multimedia di komputer, yang memudahkan untuk memotong gambar dan memasukkan suara. Ditambah lagi dengan adanya VCD player, S-VHS player, dan proyektor, yang memungkinkan pemutaran film di luar bioskop dengan biaya yang ekonomis. Apalagi kini banyak diktat-diktat tentang produksi film yang dijual secara bebas di pasaran, yang tak lagi menjadi “rahasia dapur” para perusahaan film. Dimana kosakata “sutradara”, “penulis skenario” dan “produser” tak lagi menjadi mitos yang hanya hidup di dunia para seniman dan selebtiris. Yang bukan sineas-pun, akhirnya boleh ambil bagian untuk membuat film.

Tahun 2002 lalu misalnya, Heru Effendy menulis buku 'Mari Membuat Film' yang diterbitkan Pustaka Konfiden. Sebuah buku panduan yang mempelajari seluk-beluk pembuatan film, mulai dari memahami jenis-jenis film sampai dengan penyusunan laporan produksi film. Bagi pemula, buku ini boleh dibilang cukup komprehensif, karena dilampirkan pula istilah-istilah dalam pembuatan film.

Tak dapat dipungkiri, bahwa teknologilah yang menyebabkan film independen muncul di Indonesia. Sebuah tradisi yang sebenarnya sedikit berbeda dengan apa yang yang terjadi di Amerika, ketika orang membuat film amatir karena menjadi perlawanan terhadap studio besar di Hollywood. Tradisi yang kemudian dikenal sebagai 'New America Sinema'.

Perkembangan film independen di Indonesia boleh dibilang cukup pesat. Tiap tahunnya ada 50-an film yang masuk Festival Film dan Video Independen Indonesia (FFVII). Dan sejak ditayangkan di 'SCTV' tahun 1999, FFVII kini sudah mengoleksi 300-an film.

Perkembangan ini juga tak bisa dilepaskan dari merunyaknya komunitas-komunitas filmaker, terutama di kalangan kampus. Banyak diantara komunitas ini yang sudah memiliki sistem organisasi yang ketat dan teratur. Bahkan banyak yang sudah memiliki sistem pengkaderan, dengan rutin melakukan diskusi membedah ilmu perfilman. Komunitas-komunitas inilah yang paling rajin memproduksi film, meskipun mereka memiliki persoalan dalam soal distribusi. Sehingga hanya bisa menampilkan karyanya melalui ajang-ajang festival. Atau lewat pertunjukan 'undergroud' di gedung-gedung umum, yang mereka sulap menjadi bioskop jadi-jadian.

Yogyakarta, barangkali bisa menjadi “proyek percontohan” bagi perkembangan “industri” film independen di Indonesia. Bukan cuma komunitas teater atau kartunis, komunitas filmaker juga mulai menjamur di negeri para seniman ini. Tiap tahunnya tak kurang dari 10 film yang mereka setorkan di ajang FFVII. Selain itu anak-anak muda disana juga aktif mengadakan seminar dan 'workshop' soal film. Dalam membuat film, banyak dari mereka yang hanya mengandalkan uang hasil patungan sesama komunitas, atau lewat penggalangan dana dari pertunjukan film mereka. Dapat dibayangkan akan terbatasnya soal pembiayaan. Bahkan ada yang “bisa jalan” dengan hanya mengantongi dana di bawah satu juta rupiah. Namun soal kreatifitas, buat filmaker ini hampir tanpa batas. Ide mereka hampir tak pernah berbenturan dengan unsur komersil, karena memang mereka tak pernah berurusan dengan para produser. Sehingga ada karya-karya yang eksperimental, mencoba mendobrak alur-alur umum dalam film. Meskipun banyak pula yang membuat film dengan mengadopsi “kebudayaan televisi”. Barangkali karena ini tidak terlalu ruwet dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun berangkat dari mana pun filmaker muda ini, setidaknya ada harapan bagi masa depan film Indonesia. Dan kita harus percaya, bahwa mereka juga berkarya dengan semangat berkebudayaan.[]

Tidak ada komentar: