2/08/2008

Magnitude Pemilu

Amat menjengkelkan memang ketika opini publik ternyata masih dianggap sepi oleh politisi kita yang bermasalah. Seperti tak merasa menjadi keparat, meski pengadilan sudah memutusnya terlibat kejahatan. Bahkan masih percaya diri untuk minta dipilih kembali. Apalagi banyak jalan untuk berkelit: “Kampanye anti politik busuk adalah adalah jalan membunuh karakter lawan politik.” Atau: “Jangan sampai gerakan ini terjebak kepada fitnah,” begitulah kira-kira jawaban yang kita tahu arahnya kemana.

Barangkali politisi bermasalah itu percaya jika peradilan kita seperti orang yang mengalami disfungsi seksual, sehingga buru-buru bicara tentang pencemaran nama baik, ketika nama-nama politisi busuk itu akan diumumkan. Terlebih lagi ada kado dari putusan kasus Tempo yang kalah senilai US$ 1 juta terhadap Tomy Winata baru-baru ini, bahwa opini publik dan kemarahan para intelektual, hanya anjing menyalak di meja hijau pengadilan yang terhormat.

Memang, para politisi kita seolah-olah orang yang ahistoris, sosok yang datang tiba-tiba dan tanpa sejarah. Lupa ketika menjadi fungsionaris partai zaman Orba dulu semeja-makan dengan orang seperti Sjamsul Nursalim, Bob Hasan, dan konglomerat lain pemdompleng utang yang makan hutan dan kayu gelondongan. Lupa ketika menjadi “jendral ABRI” dulu menjadi pembantai di Irian Jaya, Timor-Timur, dan Aceh. Lupa kalau dulu ikut membunuh demokrasi, dengan memerintahkan penghilangan para aktifis. Tak ikut merasa berdosa bahwa partainya membungkuk-bungkuk di kaki Orde Baru. Dan sekarang meyakinkan kepada rakyat, bahwa mereka juga adalah korban yang ditunggangi oleh rezim Bapak Pembangunan.

Padahal mereka sepertinya dulu paling nyaring bersuara: “Bangsa ini masih membutuhkan kepemimpinan Pak Harto.” Sejarah bagaikan simsalabim, runtuh tiba-tiba seperti tembok Berlin dan sorak-sorai tentang dunia baru yang rekonsiliatif.

Parahnya mentalitas semacam ini justru diwarisi para oleh para sipil kelas menengah, yang mendapat kesempatan mencicipi kekuasan pada zaman baru lewat partai beneran maupun partai sulapan. Masih terkaget-kaget mungkin hidup dengan kasta baru, sehingga kebingungan mencari jalan menikmati kekuasaan dan kekayaan. Akhirnya kepergok dugem dan ekstasi di klab-klab malam. Sambil melakukan laundring atas kejahatan korupsinya dengan pergi umroh maupun kegiatan penyantunan sosial.

Yakinlah bahwa modal menjadi wakil rakyat di Indonesia adalah “piti” dan jaringan. Soal intelektualitas tak terlalu menjadi prioritas. Maka jangan heran jika langkah pertama kebanyakan politisi itu, adalah memalsukan ijazah. Ini perlu, agar langkan menuju pengabdian dapat berjalan mulus. Tak kaget jika KPU menemukan ribuan kasus pemalsuan ijazah oleh para caleg. Nilai dan martabat pendidikan akhirnya ikut pula diacak-acak, mungkin lantaran terlalu biasa dengan jual-beli gelar di kampus-kampus hotel. Bayangkan ada seorang caleg yang tak lulus SMA, lalu kalangkabut menguber ijazah Kejak Paket C demi lolos verifikasi. Namun ini tak seberapa lucu, jika dibandingkan dengan kasus seorang wakil rakyat yang memanipulasi surat general check up, lantaran ia ternyata mengalami gangguan jiwa.

Sementara itu masih ada juga pegawai negara yang kemaruk dengan ikut mendaftar menjadi caleg, namun tak mau melepas baju “Korpri”-nya. Meski perlu sedikit bersiasat, karena UU No 43/2003 akan menghentikan secara terhormat maupun tidak terhormat, apabila para “abdi dalem” ini diketahui aktif berpolitik. Akhirnya jalan yang paling “belut” pun dilakukan, seperti dengan memalsukan dokumen.

Walaupun begitu ada juga caleg yang marah dan merasa tertipu ketika tak ditetapkan sebagai nomor jadi, atau terpental sama sekali. Lalu berteriak-teriak tentang demokrasi dan keadilan di depan kantor KPU atau kantor partainya sendiri, bahkan ada yang sampai menggugat KPU senilai 1,3 miliar segala. Dan ada yang lebih ironi, seorang anggota KPU beserta keluarganya harus mengungsi ke hotel, karena diteror oleh seorang gagal menjadi calon ndoro kanjeng anggota dewan.

Tak sedikit pula para “gagal caleg” itu berdemostrasi dengan mengerahkan demonstran “nasi bungkus” dan massa “uang rokok”. Koran Tempo (16/1/2004) menulis : “Aksi demo semacam ini berlangsung dari caranya yang sopan, yang cuma membentangkan spanduk dan poster, sampai yang kasar, bahkan menjurus ke tindak kriminal. Saling hantam, tonjok sana sini, merebut berkas yang akan disetor ke KPU daerah, menyegel markas, hingga membakar kursi-kursi di kantor partai.”

Walaupun banyak juga pendukung partai yang melakukan demo tandingan, menentang nama-nama yang menurut mereka tak berkredibel dalam daftar caleg partainya. Demo ini juga tak kalah bringasnya, karena ada yang sampai menduduki kantor partainya sendiri.

Ihwal korupsi-kolusi-nepotisme dalam penyusunan daftar caleg, siapa yang sanggup mangkir. Partai sudah seperti korporasi keluarga. Jika bapak jadi pemimpin atau pendiri partai, seolah dari anak sampai ponakan otomatis menjadi caleg. Masing-masing diberi jatah daerah pemilihan yang sepertinya datang dari langit seperti wangsit. Kalaupun tidak begitu, hampir dipastikan para caleg adalah “juragan” yang siap investasi untuk mengganti ongkos cetak pamplet dan spanduk partai. Atau bisa juga orang itu adalah bagian dari jaringan ‘kerajaan” internal partai, dimana soal kubu dan “bolo-boloan” sangat dominan menentukan pencalegan-nya. Tengok saja beberapa ribut-ribut penyusunan caleg di PDIP dan Golkar, yang sampai terjadi gontok-gontokan antar pendukungnya. Ataupun kalau bukan kroni atawa juragan, pastilah caleg itu adalah selebritis, setidaknya orang yang masih ditepuki oleh massa di panggung hiburan. Karena nyatanya “goyang patah-patah” lebih menjadi magnitude kampanye ketimbang omong (kosong) visi, misi, platform.

Maka UU No 12/2003 tentang pemilu yang mengatakan bahwa proses seleksi caleg dilakukan oleh partai secara terbuka dan demokratis, sebenarnya hanyalah konsep yang lebih enak di dengar ketimbang dijalankan. Seperti halnya juga konsep pemilu proporsional terbuka yang “tertutup segan, terbuka tak mau.”

Pemilu pada akhirnya memang cuma persoalan bersiasat dan tipu-muslihat, termasuk juga dalam soal kampanye. Saat ini hampir tidak ada kontestan yang tidak mencuri start kampanye. Dari presiden sampai bupati hampir semua “pulang kandang” ke partai masing-masing. Kalau perlu ramai-ramai menggunakan fasilitas negara. Barangkali karena terinspirasi nasionalisasi aset negara ala Golkar di zaman Orba, bahwa segala milik pemerintah yang meskipun tidak punya asal-usul dengan Golkar, harus diwarnai kuning. Bukan cuma menteri, carik di kelurahan pun wajib jadi jurkam, dan kalau tidak mau harus siap diganjar tudingan “pembangkang” atau malah dicap “PKI”. Sekarang mungkin tidak segila itu, paling banter hanya mendompleng fasilitas negara untuk kepentingan partai, itupun masih sembunyi-sembunyi. Tapi soal salip-salipan, itu hampir bisa dipastikan. Dari yang sekedar bagi-bagi kalender bergambar calon, sampai gerak jalan berkaos-berspanduk partai.

Silahkan cari manakah peserta pemilu yang belum menempel stiker di angkutan umum atau memasang bendera di gang-gang perkotaan-pedesaan. Atribut partai dipasang dimana-mana, sambil main “petak-umpet” dengan Panwaslu.

Apalagi jika kemudian mereka juga disokong oleh oknum media kita yang bermental mana tahan jika sudah urusan uang. Seorang calon presiden bisa nongol di televisi untuk sekedar mengucapkan “gong xi fat cai” sambil menampilkan diri sebagai sosok negarawan yang jumawa. Padahal ketika Arnold Schwarzenegger menyalon menjadi gubernur California, semua stasiun televisi Amerika sepakat menghentikan penayangan film aktor yang bekas binaragawan itu.

Koran disana seperti New York Times, sangat tegas bersikap terhadap iklan dengan memberi garis bernama firewall (dinding api). Sementara banyak koran kita, iklan kalau bisa diselubungkan identitasnya.

Bahkan ada koran lokal yang terang-terangan memajang gambar seorang calon DPD, pada banner halaman pemilu. belum lagi dengan rubrik profil yang ditulis tanpa kritis, yang seakan menjadi “rezeki rayahan” bagi para wartawan. Sebuah paradoks yang seharusnya menarik keprihatinan para jurnalis kita, yang tak juga meranjak dari tema usang berjudul “wartawan amplop”.

Selain itu, menjamurnya polling juga menjadi magnitude tersendiri di zaman pemilu ini. Dan kita senang juga dengan adanya beberapa lembaga polling yang memiliki akurasi tinggi seperti CESDA atau CETRO, yang tentu memberi efek mencerdaskan kepada masyarakat. Walau tak sedikit juga jumlah para pembuat polling yang lemah metodologi. Dan ini kebanyakan dilakukan oleh media, terutama yang hanya menggunakan polling sekedar untuk menangguk tiras dan popularitas. Sehingga polling tidak perlu lagi membicarakan efektif tidak efektif, apatah lagi metodologi. Bahkan bila perlu menyediakan satu halaman penuh untuk sekedar memuat kupon dukungan.

Pembaca sekalian, kita hampir tak menyadari bahwa menghadapi pemilu ini kita semua menjadi lucu.

***

Kalau kemudian Nurcholish Madjid mengatakan: ”Kalau tidak sekarang, 20 tahun lagi tidak ada sesuatu,” mungkin ada benarnya juga. Sekaranglah barangkali saat yang tepat untuk bebrayan membersihkan pemerintahan kita dari “politisi keparat-jendral petualang”.

Pemilu 2004 adalah garis demarkasi dimana “ashabul yamani” dan “ashabul yasari” saling berhadap-hadapan. Keduanya bertempur untuk menghegemoni ingatan kolektif masyarakat tentang masa lalu. Lalu meyakinkan bahwa merekalah penyelamat, dan lawannya yang pendosa. Reformasi baru berjalan 6 tahun, namun ingatan masyarakat kita sudah berada diambang pikun. Ruang psikososial hampir menjadi abu-abu, ketika kita tak sanggup lagi secara tegas mengatakan siapa salah siapa benar.

Karena kata-kata “bangsat Orde Baru” dengan “lebih enakan Orde Baru” memiliki kemungkinan yang sama untuk meluncur dari mulut penjual tomat di pasar tradisional. Sedemikian kuat citra abu-abu itu, akhirnya berimbas pada bangunan paradigmatik kebenaran di masyarakat, ketika rakyat menjadi pangling terhadap “hitam-putih” dan “benar-salah”.

Terlebih ketika pencitraan itu begitu kuat didesakkan oleh pelbagai macam media. Yang koruptor tampak begitu nasionalis, sebagai bapak penyantun yang mengelus-elus kepala buruh, lonte, dan gelandangan. Sementara yang mengaku reformis terlihat eksklusif dengan menggulung pipa celana terhadap bocah pinggir kota yang lapar dan kapiran. Kita mungkin bukan bangsa yang mengalami insomnia, dengan kehilangan sama sekali ingatan tentang masa lalu. Namun harus diakui bahwa rasionalitas rakyat kita tidak cukup kuat untuk mencerna pelbagai fenomena di sekelilingnya. Menemukan surat dibalik yang tersirat. Terutama pada masyarakat pedesaan yang agraris-tradisional, dimana daya kritis masih menjadi sesuatu yang “mewah”. Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem pernah menulis: “Hidup yang prasojo saja, tak usah yang aeng-aeng. Madeg, Mantep, Madhep. Dan saya sudah 3M sebagai babu kok. Kabegjan masing-masing kita punya, sudah kita bawa sejak lahir. Rejeki datang bukan karena culas dan cidra.”

Maka jangan terlalu berharap, bahwa kampanye anti politik busuk akan banyak mengapresiasi kehidupan kelas babu negeri ini. Terlalu berharap bahwa mereka sanggup mencerna jika si A itu koruptor, si B itu penjahat HAM, si C itu antek Orde Baru.

Jangankan mereka. Para kelas menengah yang lebih dulu tersentuh pendidikan politik pun, tidak menjadi jaminan bahwa mereka tidak memilih partai para penyamun. Bahkan merasa lebih populis berkerumun di partai para cukong yang mewah dan berkelas, sambil kongko mengobrolkan proyek tanpa tender.

Pemilu 2004 adalah pijakan to be or not to be. Harus ada keyakinan bahwa terbukanya kran demokrasi, masih memberi janji kepada parlemen kita untuk lebih berkualitas. Bahwa kelak kata “rakyat” sudah otomatis menjadi visi utama para priyagung politisi. Dan rumah “kardus” parlemen di zaman Orde Baru sudah berada di perpustakaan, sebagai lembar hitam sejarah kekuasaan di republik ini.[] Khairul Anom

Tidak ada komentar: