2/08/2008

Arus Balik Orang Lampung

Gelombang perubahan berlangsung begitu cepat. Dan kini kita berada dalam situasi yang mencemaskan, yaitu bagaimana mengisi ruang-ruang politik yang sudah terbuka ini. Dalam sejarah rezim-rezim, kita hampir tak pernah dididik menjadi masyarakat mandiri. Feodalisme dan kamar-kamar gelap kekuasaan, membuat masyarakat tak terbiasa untuk membuat keputusan dan menentukan nasibnya sendiri. Masyarakat juga gagap untuk memahami realitas secara jernih, karena kemerdekaan informasi masih kemarin sore dan teringat jelas kapan tanggal lahirnya. Kegagapan itu pula yang terjadi ketika kita diberi kebebasan. Kehidupan kita yang asing dengan kata “kebebasan”, “hak dan kewajiban”, “publik dan privat”, membuat kita sulit untuk memahami bahwa dalam kebebasan ada sentimen yang mesti inklud di dalamnya; yaitu etika kewajaran. Kita memang seperti kehilangan masa lalu. Bangsa ini yang begitu beragam tiba-tiba dipersatukan begitu saja oleh kekuatan totaliter. Maka ketika rezim itu runtuh dan kemudian melahirkan desentralisasi, kita justru kebingungan untuk mendefinisikan kembali jati diri kita. Otonomi yang diitikadkan untuk membangun kemandirian, justru mengarah pada etnisitas politik dan birokrasi. Dulu, sebelum kita mengenal republik, dialog antar budaya bangsa ini berlangsung dengan baik. Kita dikenal sebagai bangsa maritim, arus laut membawa mobilitas antar daerah-antar budaya demikian tinggi. Tapi anehnya, di abad dua satu ini kita justru disibukkan oleh persoalan disintegrasi. Bisa dibayangkan berapa besar kerusakan budaya yang dialami republik ini.

Bagi kita orang Lampung, masih terbentang jalan panjang dan butuh kerja keras, untuk merekonstruksi kembali kebudayaan kita. Penghancuran budaya lokal yang dimulai dari masa kolonial, orde lama, orde baru, telah menenggelamkan artefak-artefak sosial yang sama berharganya dengan artefak arkeologis. Karenanya di masa otonomi ini, yang perlu dilakukan adalah mengais kembali sisa-sisa kedaulatan budaya di masyarakat kita. Kedaulatan budaya yang saya maksud bukan berarti mengembalikan feodalisme tradisional ala raja-raja yang terbukti menjadi kekuatan penindas zaman kolonial. Kedaulatan budaya yang dimaksud adalah nilai dan norma lokal yang merupakan kearifan dari ibu kita sendiri. Kebudayaan lokal saya kira tidak bisa dipandang sebagai hal yang kontraproduktif dengan etika masyarakat modern, sebab bukankah yang disebut “nilai” adalah sesuatu yang universal.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa kita perlu untuk membicarakan kedaulatan budaya.

Pertama, kita tidak bisa menggantungkan diri pada mimpi, bahwa kelak kehidupan akan cerah apabila ekonomi telah berjalan dengan mapan. Pembangunan ekonomi ternyata tidak menjadi jaminan tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Rangsangan ekonomi dapat saja menjebak kita menjadi masyarakat mesin uang yang menisbikan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Belum lagi resiko yang harus ditempuh, seperti kesenjangan, korupsi, dan kecurangan, sebagaimana yang terjadi pada orde-orde sebelumnya.

Kedua, kapitalisme dan teknologi informasi menggiring kita pada kebudayaan yang memiliki dua mata pisau. Satu sisi kita berkenalan dengan pluralisme dan terbukaan, jelas ini akan membimbing kita pada cakrawala dunia yang lebih luas. Namun di sisi lain, kapitalisme juga membawa serta kebudayaan massa yang banal. Televisi yang masuk ke lingkungan keluarga memperkenalkan kepada kita benda-benda dan pola hidup yang tercarabut dari akar kepribadiannya. Kehidupan urban telah masuk ke pekon dan kampung klutuk, membuat kita menjadi manusia tanpa pijakan, tanpa roh, dan tanpa sejarah. Akibatnya, kita akan kehilangan kepekaan dan berinteraksi dan berhubungan sosial.

Dari dua hal diatas dapat kita lihat, bahwa di era keterbukaan ini ada ancaman dehumanisasi. Karenanya, kita perlu melakukan gerakan “memanusiakan” kembali, yaitu dengan mengembalikan identitas kita sebagai manusia yang berbudaya. Dan identitas yang kita kenal adalah tradisi dan budaya yang diwariskan ninik-mamak kita turun-temurun.

Namun dibalik keinginan menegakkan kembali kedaulatan budaya, ada satu hal yang perlu kita rumuskan, yaitu bahwa kita tidak sedang menghentikan sejarah dan masa depan. Rekonstruksi budaya bukanlah menegakkan struktur sosial dan pola perilaku yang eksklusif dan kaku. Sebab kita tidak bisa menghentikan peradaban yang didalamnya terdapat proses kreatif dan evolusi budaya. Rekonstruksi budaya harus kita tujukan pada pembentukan harmoni yang dinamis, yaitu menjadikan lembaga adat sebagai warisan moral. Moral tradisi inilah yang menjadi inspirasi dalam melanjutkan proses kreatif di masyarakat. Namun kita tetap membutuhkan “lembaga” sebagai alat untuk membangunkan kembali moral tradisi. Salah satunya adalah dengan revitalisasi lembaga adat kebuaiyan, keratuan, marga, dan sebagainya. Kita perlu untuk memberikan eksistensi terhadap lamban-lamban gedong, setidaknya bahwa disana bukanlah sekedar museum tua tempat menyimpan tambo dan pusaka. Membangun kedaulatan budaya melalui lembaga adat, barangkali bisa menjadi jembatan menuju kedaulatan rakyat. Karena pengasuhan partisipasi biasanya lebih baik jika dilakukan masyarakat sendiri, dibandingkan oleh birokrat. Pada birokrat, yang seringkali terjadi adalah birokratisasi dan pelembagaan terhadap “kelas”. Di negeri ini, birokrat teruji gagal dalam mendewasakan masyarakat.

Selanjutnya kita memang harus membicarakan metode. Saya pribadi tidak memahami apakah memungkinkan dalam sistem perundang-undangan kita diberlakukan desentralisasi ke dalam wilayah yang lebih kecil, semisal lembaga adat. Karena kita juga tidak menginginkan terjadinya dualisme pemerintahan yang justru membingungkan. Namun mungkin saja dibangun hubungan kemitraan antara pemerintah dan lembaga adat. Misalnya pelibatan lembaga adat dalam pembuatan kebijakan, terutama yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Serta pelibatan dalam pengelolaan pemerintahan. Berilah semacam kewenangan atau kekuatan hukum kepada lembaga adat untuk melakukan pemberdayaan sekaligus kontrol terhadap pergerakan masyarakat. Sehingga ada keterbatasan pemerintah yang dapat dilengkapi oleh lembaga adat, yaitu kontrol perilaku dan budaya. Atau pilihan mekanisme lain dimana Bapak Gubernur, Walikota, Bupati, Anggota Dewan lebih tahu dalam soal ini. Pada prinsipnya adalah bagaimana lembaga-lembaga adat dapat dihidupkan dengan lebih efektif di masyarakat. Apapun resikonya, kita memang harus berani memberikan kepercayaan kepada setiap individu masyarakat, untuk memilih dan berbuat demi nasibnya sendiri.

Saya pribadi bukan tidak sepakat pada program pemerintah untuk menggalakkan kembali kesenian dan budaya tradisional melalui Festival Krakatau, kontes Muli Mekhanai, pembangunan tugu Siger, serta berbagai macam bentuk promosi lainnya. Namun saya kira, program demikian tidaklah sampai kepada substansi dan akar revitalisasi budaya. Karena nyatanya semuanya berakhir ketika pesta usai. Kita tidak bisa berharap banyak terhadap pesta-pesta. Dalam pesta, sulit mengharapkan massa yang kontemplatif. Padahal suasana yang kontemplatif itulah yang kita butuhkan jika ingin membangun kebudayaan di masyarakat.

Kedaulatan budaya melalui lembaga adat ini penting buat pemerintah, setidaknya dapat menjadi pembimbing agar membangunan tak salah arah dan salah urus. Kebijakan yang tak mempertimbangkan budaya, kerapkali menjadi kebijakan yang tercerabut dari kebutuhan masyarakat. Masyarakat juga tidak tahu harus berbuat apa dengan kebijakan yang ia sendiri tak mengerti. Kita bisa mengambil pelajaran dari kebijakan masa lalu, seperti transmigrasi. Kebiajakan ini sebenarnya warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu penetrasi antar masyarakat tanpa mempertimbangkan budaya dan ekologi, yang semata-mata demi kepentingan eksploitasi ekonomi. Yang dipikirkan pemerintah kolonial saat itu adalah bagaimana mengisi daerah-daerah kosong, agar produktifitas perkebunan terus berlangsung demi membiayai kebutuhan mereka pada Perang Eropa. Konyolnya, kebijakan ini justru dilanjutkan rezim-rezim pemerintah kita, dengan sistem dan model yang sama pula. Ini menunjukkan betapa rendahnya kreatifitas pemerintah dalam melakukan rekayasa sosial persebaran penduduk. Akibatnya, banyak daerah-daerah transmigran di Lampung ini yang menjadi daerah miskin dan terbelakang. Masyarakat transmigran merasa teraleniasi, sementara penduduk lokal merasa asing. Wajar jika kemudian muncul persoalan rasisme antara pendatang dan penduduk lokal. Saya hampir meyakini, jika rasisme tidaklah semata-mata persoalan sentimen kesukuan. Melainkan masalah “kelas” dan kesenjangan sosial. Rasisme barangkali adalah sikap defensif yang paling aman atas ketidakberdayaan terhadap orang lain.

Pada zaman Gubernur Oemarsono, pernah ada kebijakan yang mencoba mempertimbangkan kedaulatan budaya, yaitu program Kampung Tua. Namun entah mengapa, program ini katanya gagal juga. Barangkali karena lagu lama pemerintah yang selalu salah urus, atau memang terlalu banyak maling diantara kita. Atau mungkin juga seperti yang saya sebutkan diatas, masyarakat kita tak terbiasa hidup mandiri dan menentukan pilihannya sendiri, karen terlalu lama hidup di bawah rezim otoriter.

Sementara bagi masyarakat, kerusakan budaya pada dasarnya merupakan faktor inheren dari kerusakan lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, termasuk ekologi. Pada abad XVI hingga abad XIV, Lampung adalah pemasok utama perdagangan lada di Batavia. Perlu dicatat, jika perkebunan lada di Lampung bukan semata-mata karena tangan besi pemerintah kolonial. Juga bukan karena kekuasaan Kesultanan Banten, karena Lampung tak pernah sepenuhnya tunduk kepada Banten. Jika kita melihat Piagam Sukau tahun 1691, tertera aturan dari Sultan Banten yang mewajibkan setiap penduduk Lampung untuk menanam 500 pohon lada. Saya kira, ini adalah perintah sepihak dari Banten. Bahkan Belanda sendiri pada awalnya mengalami kegagalan untuk menguasai Lampung, yang telah diserahkan sultan Banten kepada Belanda karena membantunya pada perang suksesi di sana. Perkebunan lada di Lampung, maju karena kekuatan lembaga Adat dan kesadaran warganya. Ini adalah contoh bagaimana kedaulatan budaya berdampak langsung terhadap kehidupan ekonomi. Kita bisa membandingkan dengan keadaan sekarang. Apa kabarnya perkebunan damar di Lampung Barat yang konon berkelas dunia itu? Terakhir terdengar banyak anak muda di sana yang menjual pohon damar kepada pengusaha kayu. Dan apa kabar pula para pembalak di TNBBS? Kini kita bisa melihat orang menebang kayu seperti orang menebas ranting di kebun moyangnya. Kita memang harus menyalahkan pemerintah yang selalu salah urus, misalnya terhadap harga damar yang melulu anjlok, atau terhadap pamong berkepala tikus yang membeking pembalakan liar. Namun di luar itu, kita juga harus menyesalkan rendahnya kualitas budaya di masyarakat. Saya hampir meyakini, jika ini disebabkan oleh runtuhnya pamor lembaga adat yang telah dirampas otonominya. Karena nyatanya, sebelum abad XX, para Saibatin bisa menangkap dan menghukum para perusak atau pekerja yang mangkir. Saat itu pengawasan di masyarakat dapat berjalan efektif, penghormatan orang terhadap budaya telah membangun hubungan sosial yang arif dan bijaksana.

Marilah kita membandingkan dengan tetangga serumpun, Aceh dan Sumatera Barat। kedaulatan budaya di sana ternyata cukup kuat menghadapi gempuran budaya politik kolonial dan rezim-rezim। Siapa bisa menyangkal jika Aceh harus dianggap sebagai saudara tua bangsa ini. Mereka menunjukkan karakter sebuah masyarakat yang siap menumpahkan darah terakhir demi memperjuangkan keyakinannya. Demikian pula dengan Sumatera Barat, masyarakatnya begitu kental memegang teguh adat dan budaya. Ungkapan mereka “adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah” benar-benar terinternalisasi dalam kehidupan keluarga dan hubungan sosial. Dan dari tanah mereka pula banyak lahir tokoh bangsa yang disegani. Lantas bagaimana dengan kita? Dari abad XIV kita sudah menjadi masyarakat muslim yang taat, yang berarti bahwa tidak ada kesenjangan peradaban yang begitu jauh dengan Aceh dan Sumatera Barat. Maka bukan hal yang mustahil jika kita mengandaikan masyarakat Lampung yang kuat dan berwibawa. Dan memang harusnya bisa.[
Khairul Anom



Tidak ada komentar: