“Sejauh mana Islam berlaku sebagai rahmat bagi seluruh alam?” itulah kemudian pertanyaan yang disodorkan Budi P Hutasuhut dalam artikelnya(Lampost, 16/10/2002). Pertanyaan klasik yang mungkin tak akan pernah usang, yang menjadi refleksi kegalauan saat membaca fenomena global, ketika kapitalisme dan neoliberalisme menjadi hantu yang mengancam sejarah peradaban. Ketika konglomerat dunia pemilik multinasional corporation (MNC) telah menguasai 75% modal kehidupan kita. Dan ketika negara-negara miskin dunia ketiga menjadi cengkeraman imperialisme baru, saat napas kehidupan mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai ruang informasi telah dimonopoli. Dan ternyata, umat Islam hanya menjadi buih dan faktor ikutan dalam sebuah pertarungan besar ini. Pertanyaan itu bisa jadi sebuah cipratan dari ‘pesimisme pemikiran’ (Istilah Goenawan Mohamad) untuk menjadi berarti, terlebih menjadi pemenang. Tapi mungkin juga sebuah ‘optimisme kehendak’ sebagai ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita peradaban masa depan dengan hadirnya umat Islam sebagai khairu ummah (umat terbaik).
Meskipun kemudian mengusung ‘Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam’sebagai pertanyaan yang mencoba mencari titik temu itu (kalimatun sawa’), adalah sesuatu yang multitafsir. Sebab mungkin saja bagi yang satu, peradaban Islam yang ‘rahmatan’ adalah beradaban yang berorientasi ke masa lampau, sebagai sesuatu yang disebut sebagai ‘otensitas’. Sementara bagi yang lain puncak peradaban Islam adalah ketika Islam menjadi dien yang berorientasi kemasa depan, sebagai substansi dien yang universal yang kontekstual dan berdialog dengan realitas. Lalu bagaimana sesungguhnya umat Islam Indonesia, pertanyaan yang juga diajukan Budi PH dalam tulisannya.
Ada dua peristiwa sesungguhnya yang dapat kita apresiasi untuk mencari jalan keluar atas pertanyaan itu, selain kasus bom di Bali beberapa waktu lalu. Yaitu peristiwa “Rekonsiliasi NU-Muhamadiyah” dan “Pembubaran Laskar Jihad”. Dua peristiwa yang menjadi harapan baru bagi pembentukan civil Islam Indonesia. Setidaknya sebagai upaya gandengan antar batin dan penumbuhan kesadaran yang membuat kita terharu, setelah tahun-tahun terakhir hubungan kemanusiaan kita berada dalam konflik sosial yang tak berkesudahan.
Peristiwa itu mungkin menjadi peristiwa spiritual, yang telah meretas kebekuan antar hati, yang menjadi penghalang bagi keihlasan persaudaraan. Betapa tidak, pelbagai peristiwa yang terjadi, khususnya dalam diri umat Islam semakin hari justru semakin mengarah ke dalam hal yang bersifat ‘destruktif.’ Wajah Islam atas beberapa peristiwa, menunjukkan sebuah stereotip yang terlihat sangar, dan menakutkan. Kekerasan-demi kekerasan menjadi menu utama, ketika sebagian umat Islam bersikap terhadap realitas-realitas sosial semacam maraknya perjudian, prostusisi, miras, dan tempat maksiat.
Selain itu, ketika Islam hadir dalam wilayah-wilayah konflik, seperti yang terjadi di beberapa daerah, wacana jihad benar-benar nampak sebagai teks yang berarti perang melawan musuh. Sehingga yang terjadi bukan ‘penyelesaian’ melainkan ‘pengorganisiran’, yang kemudian menjadikan konflik semakin berlarut-larut. Haruskah Al-Islamu huwa al-hal (Islam adalah solusi) dijadikan justifikasi untuk mengabaikan hukum nasional dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Lalu bagaimana jika masing-masing agama menggunakan sikap yang sama sebagai klaim kebenaran (truth claim). tak terbayangkan kiranya jika terjadi chaos tanpa hukum justru ketika masing-masing pihak merasa dalam supremasi hukum masing-masing.
Telebih lagi saat ini, wacana untuk mendirikan negara Islam, baik secara nasional maupun global (khilafah) terus berkembang. Bahkan ketidaksepakatan terhadap sistem kenegaraan nasional yang diklaim sebagai sistem toghut, mengarah pada sparatisme yang bersenjata. Seperti adanya dugaan rencana pembunuhan terhadap Presiden Megawati yang disokong oleh sekelompok orang Islam.
Maka ditengah maraknya ekstrimisme keagamaan, dua peristiwa itu sekurang-kurangnya menjadi obat bagi kebingungan kultural yang terjadi saat ini. Yaitu ketika umat Islam (terutama di arus bawah) tengah me-reka-reka bagaimana wajah Islam yang sesungguhnya. Juga ketika umat Islam kehilangan panutan, untuk bagaimana mereka menentukan sikap atas peristiwa sosial.
Rekonsiliasi ini menjadi harapan bersama, untuk meretas jalan Islam yang damai dan sejuk. Yang hadir ditengah persoalan sebagai sosok yang dialogis, dimana persoalan diselesaikan secara bersama dalam suasana demokratis. Bahkan Ulil Abshar Abdalla (anak muda NU) berpendapat bahwa hal semacam ini sebaiknya disokong dalam pelembagaan yang bersifat ‘teologis’, agar penyikapan kita terhadap ketidakselarasan ini tidak berhenti pada sesuatu yang paternalistik.
Maka membicarakan Indonesia yang plural baik agama maupun budaya, sebuah keharusan untuk merumuskan sebuah teologis, dalam rangka mencari jalan keluar atas persoalan yang timbul dari keragaman tersebut. Setidaknya menjadi jembatan bagi kita untuk hidup berkebangsaan dengan damai dan tanpa prasangka. Keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat bisa terjaga, karena tidak adanya keinginan saling mendominasi satu dengan yang lain. Dalam teologi sekular misalnya, kehidupan agama di internalisasi sebagai hubungan sakral antara sang khalik dan makhluk. Setiap pemeluk agama bebas merasakan ‘kesunyian masing-masing’ tanpa kekhawatiran intervensi agama lain. Internalisasi keagamaan sebagai spiritualitas individu, membawa agama-agama berwajah damai dan bersahabat. Sehingga kepercayaan agama yang ‘kita benar’ dan yang ‘lain sesat’ tidak berkembang untuk saling menyerang karena itu persoalan individual. Sebab mungkin ada benarnya Albert Camus, jika negara bersekutu dengan agama, yang ada adalah inkuisisi.
Atas pijakan pluralisme, Teologi Islam Indonesia adalah teologi bagi hubungan kemanusiaan yang berbasis sekular. Teologi yang mengakui negara nasional sebagai sistem pemerintahan yang sah. Teologi yang mengakui hukum nasional sebagai hukum yang harus dipatuhi dan alat menyelesaikan persoalan. Juga teologi yang menghargai keberagaman dan pluralisme, dimana hak dan kewajiban diatur berdasarkan sebuah perjanjian yang disepakati bersama secara demokratis. Dalam teologi ini warganegara diajak untuk menjujung supremasi pemerintahan dan hukum. Sehingga persoalan-persoalan sosial semacam perjudian, prostutusi, kemaksiatan, tidak diselesaikan secara jalanan atas legitimasi agama. Juga persoalan anarkisme gerakan-gerakan sparatis keagamaan, yang ingin mendompleng kekuasaan pemerintahan, dapat diminimalisir.
Teologi semacam ini mengajak kepada masyarakat untuk hidup merdeka dalam kesederajatan, karena tidak ada yang merasa tertindas satu sama lain. Persaudaraan antar agama terbentuk karena sikap toleran (tasamuh), yang kemudian memupus kebencian terhadap agama lain dengan mengedepankan sikap ber-baik sangka (khusnudzan).
Meski kemudian, makna sekular dalam teologi ini bisa saja dibatasi dalam persoalan hubungan kemanusiaan (hablum minannas). Sebab yang menjadi inti persoalan wacana ini, adalah benturan hak asasi antar pemeluk agama ketika terjadi dominasi satu atas yang lain. Teologi ini tidak serta merta menjadi keharusan bagi para pemeluk agama untuk mensekularkan spiritualitas individualnya. Misalnya dengan mendekonstruksi nilai-nilai ritual dalam agama, atas nama simbolisme.[]
Khairul Anom 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar