2/08/2008

Hidden Master dan Politik Multilevel

Hasil pemilu sudah dihitung, dan kini tinggal pergunjingan kita siapakah yang bakal menang dan menduduki kursi raja-raja. Apakah Golkar atau PDI Perjuangan, yang jauh hari sudah disebut-sebut akan menjuarai kompetisi pemilu kali ini. Naga-naganya memang kesana. Namun yang pasti, pemilu kali ini telah mencatat dua kuda hitam yang tak terbendung lajunya, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Dua partai ini menjadi fenomenal karena memiliki kans untuk menyalip partai-partai “unggulan” semacam PAN, PPP maupun PBB. Dua partai ini perlu untuk kita perbincangkan.

Pertama, bahwa popularitas mereka setidaknya bisa menjadi parameter psikologi kolektif masyarakat kita. Kedua, ancaman apakah yang bakal membayangi mereka, misalnya bahwa kelak mereka memang meraih kursi kekuasaan.

Partai Demokrat menang karena menunggang Susilo Bambang Yudoyono. Ini sudah garis tangan dan tak bisa dibantah. Menggunakan Partai Demokrat atau Partai Birokrat sekalipun, perolehan suara SBY tak bakal berubah. Bahkan masyarakat banyak yang tidak tahu siapakah nama ketua berlambang bintang tiga itu.Lalu mengapa harus SBY, yang termasuk new comer di dunia perpolitikan itu?

Just to tell the truth, bahwa sebagaian besar masyarakat kita belumlah benar-benar lepas dari tradisi pengayoman. Tradisi sentrisme sesepuh, pembina, pelindung, adalah bagian sehari-hari, mulai dari perkampungan hingga perkantoran.

Dan marilah kita akui dalam konstelasi kekuasaan kita, militerlah yang paling sesepuh di segala zaman. Setidaknya bahwa dalam baju militer dipercaya terdapat jiwa pengayom dan pemberi rasa aman. Dan SBY hadir sebagai itu. Setidaknya di dirinya terdapat seperangkat aura kemiliteran: tenang, berwibawa, mantap, dan menjanjikan. Selain bahwa dia memang jenderal militer.

Ihwal semacam ini yang, misalnya, tidak dimiliki oleh Amien Rais. Yang mencitrakan dirinya sebagai politikus kritis, yang seolah hidup ditengah sipil egalite negara maju semacam Amerika. Ini Indonesia, dimana sebagian besar masyarakatnya masih tradisional, yang orientasi politiknya belumlah sampai pada posisi keterlibatan. Melainkan hubungan satu arah antara priyayi dan kawula. Sehingga yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah daya ayom nya.

Selain itu, memilih SBY bisa menjadi balsem mujarab, ditengah pesimisme dan ketidakpercayaan terhadap partai-partai besar pemangku kekuasaan. Bagaimanapun citra negatif yang dibangun media massa terhadap PDIP dan Golkar, sangat berpengaruh pada opini publik terhadap kedua partai ini, terutama publik kelas menengah di perkotaan. Apalagi Ibu Presiden Megawati kerap mendemonstrasikan ketidakpiawaiannya dalam berpolitik, ditambah lagi campur tangan Taufiq Kiemas yang justru mendulang di air keruh. Fenomena SBY juga membuktikan, bahwa Ibu Mega sebenarnya tidak belajar dari dirinya sendiri. Yaitu ketika ia dimarjinalkan oleh kekuasaan, ketika ia didepak sebagai ketua PDI oleh para caretaker KLB PDI di Sukolilo tahun 1993. Tidak belajar bahwa ditindas oleh kekuasaan adalah komoditas politik yang mahal, misalnya untuk meraup simpati massa. Karena itu ternyata Megawati ulangi pada SBY, yang ia kucilkan pada ujung pemerintahannya. Wajar jika kemudian SBY mendapat apa yang Mega juga pernah dapat; simpati.

Sementara Akbar Tandjung, percayalah bahwa sebagian besar publik kita sudah mengidentifikasi, bahwa tokoh satu ini adalah koruptor. Pengadilan Akbar Tandjung adalah peristiwa kebudayaan, di mana orang semakin percaya bahwa: maling ayam dikepruk, maling negoro tak digaruk. Lalu mengapa Golkar masih dominan? Ini tidak lebih karena Golkar punya suprasuktur politik super canggih yang sudah mereka bangun sejak orde babe berkuasa. Para politisi Golkar berkelas Ki Juru Martani, politikus ulung dibelakang Panembahan Senopati Mataram. Dan uang mereka tak ber-seri angkanya. Opini terhadap Golkar bisa diolah sedemikian rupa, sehingga bisa selamat di orde manapun.

Namun bagaimanapun, kemunculan SBY sebagai kuda hitam, sangat berkemungkinan ia menggerogoti dua partai besar ini. Selain ia juga mendapat banyak kontribusi suara dari orang-orang yang tak fanatik berpartai (floating mass), yang bingung mencari-cari partai mana yang mesti dicoblos pada pemilu kali ini. Namun yang pasti, ada desersi massal pendukung PDIP dan Golkar. Lantas mengapa pendukung “banteng” dan “beringin” ini membelot?

Pertama, karena semakin banyak yang jenuh terhadap Ibu Mega, yang semakin kesini semakin terkikis mitologi tentangnya. Terkikis mitos bahwa Megawati penerus Soekarno, bahwa ia adalah simbol perjuangan orang-orang kalah. Ini karena masyarakat juga semakin pintar, banyak yang percaya jika Megawati tak lagi menjanjikan, ditengah hausnya perubahan. Karenya nyatanya harga sembako meloncat-loncat, dan rekening listrik justru menyetrum. Ia tak lagi menjadi sosok yang mengejutkan. Sementara PDIP sangat bergantung pada ibunya itu.

Kedua, masyarakat mulai kebal terhadap politik siasat Golkar. Golkar tak lagi sebuah kemewahan, karena hiruk-pikuk kejayaan ditengah kelaparan adalah hal yang menyakitkan. Apalagi kampanye anti politikus busuk, seberapapun kecilnya, pasti berpengaruh kepada masyarakat kita.

Ditengah kelinglungan kultural masyarakat itulah SBY muncul, ia datang dan dan menjadi pencuri kecil-kecilan bagi dua partai ini. Setidaknya ia menjadi janji baru, setelah janji lama tak lagi mujarab. Apalagi ada sebagian masyakat yang masih percaya, bahwa kelak ditengah kekacauan, akan muncul pemimpin yang tak diduga-duga; satrio piningit (hidden master).


PKS dan Politik Multilevel

Inilah Fenomena berpolitik paling mutakhir dalam sejarah politik di Indonesia. Yang barangkali hanya diwakili oleh Masyumi pada era orde lama. Basis politiknya adalah jaringan politik islam, melajui gerakan keagamaan di kampus-kampus umum, penggiat spiritualitas di perkotaan, yang menyebut dirinya sebagai gerakan dakwah. Gerakan mereka bergerak secara organis, mencari kader dor to dor. Mereka “berdagang” Islam dengan strategi marketing multilevel, ada tanggungjawab untuk beranak-pinak. Politik santri PKS bukanlah sentrisme kyai semacam Wali Songo di Demak. Karena itu lebih tepat diwakili PKB dengan dukungan para kyai khos-nya.

Politik PKS tidak bersifat vertikal, dengan pelimpahan kepercayaan dan otoritas kepada sekelompok kyai, untuk mengelola kekuasaan. PKS lahir dari jaringan horisontal. PKS yang berbasis Islam puritan, adalah politik komunal. Gerakan mereka mengidentikkan diri dengan ikhwanul Muslimin, gerakan pembaruan Islam dari Mesir, dengan ayyuhal akya’ semacam Hassan Albanna dan Sayyid Qutb. Meskipun kemudian PKS lebih kompromistis, misalnya tidak anti demokrasi karena mendirikan partai politik. Sehingga jangan berharap jika di PKS kelak akan lahir sentrisme figur atau para pinisepuh. Ketua di PKS adalah fungsi, bukan tokoh.

Karena gerakan komunal inilah, struktur kontrol di PKS bisa berjalan. Saudara ari-ari PKS yang bernama Partai Keadilan telah memulainya. Anak-anak PK yang duduk di kursi parlemen telah menunjukkan dirinya sebagai sekelompok politikus santri yang loyal terhadap platform partainya. Platform dengan sebongkah janji bahwa mereka tidak maling, bersikap santun, anti KKN. Dan sampai saat ini setidaknya masih banyak yang percaya, karena melihat bahwa kontrol kumunal mereka cukup ketat.

Kepercayaan adalah tunggangan PKS, dan bukan berarti tidak ada partai lain yang tidak mendapat kepercayaan. Sebutlah PAN sampai saat ini citranya lumayan percaya. Namun masalahnya ada yang lebih dipercaya. Setidaknya bahwa PKS, mampu memberikan perasaan totalitas yang tidak ditawarkan PAN. Terutama karena kadernya yang santri kota, dan jaringan kontrolnya yang ketat.

PKS bergerak pelan tapi pasti. Sistematisnya bagai Ken Arok, menaklukkan Tumapel, sambil perlahan-lahan mempersiapkan perebutan Singosari.

Dagangan politik Partai Demokrat bermerek “tokoh” dan PKS berlabel “citra”. Sehingga masa depan politik mereka juga dipertaruhkan hal tersebut. Marilah berandai-andai bahwa kekuasaan yang absolut akan cenderung korup. Untuk mengukur misalnya, bahwa kita memiliki kemungkinan yang sama untuk itu, termasuk SBY dan PKS. Adakah ketokohan dan citra yang dibangun dua partai ini memiliki daya kekebalan terhadap yang diujar-ujarkan oleh Lord Acton, si bangsawan Inggris itu.

Seperti SBY, jangan mangkir bahwa Partai Demokrat adalah partai sulapan. Yang dibuat super kilat demi mengusung SBY menjadi ndoro kanjeng presiden. Sehingga rekrutmen kader partainya pun bermetodologi comot. Karena toh partai ini tidak memiliki sejarah basis massa, seperti nahdliyin bagi PKB, santri kota untuk PKS.

Percayalah bahwa, menjaring punggawa calon legiflatif di partai demokrat tak akan ketat menanyakan asal-usul, apakah bersih atau tidak, broker atau bukan, nasabnya apa dan seterusnya. Sementara ketokohan SBY sangat mungkin dipertaruhkan oleh polah-tingkah anak buah di partainya sendiri. Misalnya bahwa kader partai demokrat tidak loyal terhadap platform yang dibangun oleh SBY. Loyalitas disini janganlah disamakan dengan loyalitas yang terjadi di PDIP. Dimana maqom keloyalan seorang kader, diukur apakah ia mendukung stabilitas kekuasaan Ibu Mega atau tidak, apakah ia berkacamata kuda atau tidak terhadap pimpinan partai. Seperti yang kita saksikan pada kisruh suksesi gubernur di beberapa daerah. Keloyalan di Partai Demokrat adalah memegang teguh citra SBY, misalnya bahwa ia tidak maling, tidak mbroker, tidak asusila dan seterusnya.

Sehingga tangan besi yang SBY pelajari sewaktu menjabat jendral tentara, perlulah berlaku bagi partainya sendiri. Selain itu ketokohan SBY dipertaruhkan oleh dirinya sendiri. Ia tak boleh lupa, bahwa dirinya dielu-elukan karena tegas, berjiwa pengayom, bersih dan bervisi. Sebab sebagai pendatang baru, sangat memungkinkan bahwa kelak ia bisa di-megawati-kan, di-Akbar Tandjung-kan oleh sebagian pendukungnya. Sebagaimana turunnya suara PDIP dan Golkar pada pemilu kali ini.[] Khairul Anom

Tidak ada komentar: