Di zaman pemerintah baru yang belum seumur jagung ini, ada baiknya jika kita membuka kembali file dunia pendidikan tinggi, yang ternyata masih banyak rahasia kenyataan yang tak bisa dijawab olehnya. Banyak fenomena yang ironi dan kabur di masyarakat, namun para profesor doktor kita ternyata tak mampu melakukan penjernihan-penjernihan, meskipun masalah itu sebenarnya berasal dari lingkungan akademisnya sendiri.
Misalnya dengan sebuah pertanyaan yang paling terkini: mengapa kampus selalu gagal membangun mental kemandirian para mahasiswa, sehingga banyak sarjana yang lebih suka bercita-cita menjadi pegawai negeri, dibanding mencipta dengan ilmu pengetahuannya. Mengapa tidak ada pergesaran logika para terdidik kita, seperti kebanyakan para orang tua yang memang lahir dari sistem pendidikan zaman kiblik yang sederhana. Mengapa mental koruptif dan segala macam praktik “maling” justru banyak dilakukan oleh kelas yang pernah mengeyam pendidikan tinggi, sedang kearifan-kearifan justru bersemayam di kampung-kampung yang jauh dari sekolah. Sehingga pada akhirnya, benarkan perguruan tinggi kita telah melakukan transformasi atas nilai-nilai, bukan cuma stagnasi nilai tradisional yang dibalut baju mengilap tentang keahlian dan profesionalisme.
Perguruan tinggi seperti malas untuk turut melibatkan diri, apalagi merasa bertanggungjawab terhadap kualitas kemanusiaan para lulusannya. Ini barangkali karena perguruan tinggi terlihat nerves dengan era globalisasi dan informasi. Tugas perguruan tinggi direduksi menjadi lembaga pencetak SDM berkualitas, kompetitif di dunia kerja, serta ungkapan lain yang berkenaan penyiapan tenaga ahli dan siap pakai. Brosur-bosur perguruan tinggi bersaing menawarkan fasilitas pendidikan yang cangih dan modern. Sedangkan nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti kebenaran, kebebasan, keadilan, menjadi ruang yang kesepian di pojok sejarah. Para mahasiswa tak tertarik mengapresiasi hal-hal yang berbau abstrak, karena tidak konkrit, nyata, dan berdayaguna. Ilmu pengetahuan telah diolah menjadi barang siap saji dan pragmatis, dengan parameter keberhasilan yang positifistik pula. Sehingga banyak diantaranya yang mengalami kebingungan saat menyaksikan fenomena-fenomena baru, karena tak diajarkan semasa kuliah.
Perguruan tinggi sendiri semakin hari semakin tercerabut dari kehidupan. Kampus menjadi gudang-gudang akademis yang steril, yang tumbuh disebuah sisi, sementara masyarakat dan kenyataan ada di sisi yang lain. Kuliah Kerja Nyata (KKN) dihapuskan, karena mubazir dan tidak profesional. Lalu diganti dengan Praktik Kerja Lapangan (PKL), yang mendistribusikan para mahasiswa ke kantor-kantor, untuk dikenalkan bagaimana caranya menjadi pegawai. Wajar jika kini banyak sarjana yang pangling terhadap lingkungannya sendiri. Sementara masyarakat tak mendapati apa maknanya kaum terdidik buat mereka.
Kuliah di fakultas ilmu pendidikan, kedokteran, ekonomi, politik, adalah semata-mata dalam rangka berekonomi dan perburuan karir. Semata-mata agar kelak dapat bekerja dan berpenghasilan layak. Tak sedikit mahasiswa ilmu komunikasi yang enggan menjadi wartawan lantaran bergaji kecil. Sarjana ilmu hama tanaman yang memilih menjadi pegawai bank, karena menganggap tak ada tambang emas terhadap disiplin ilmunya. Ilmu pengetahuan gagal menjadi darah daging bagi banyak sarjana.
Sementara itu ternyata tak juga tumbuh kepercayaandiri para pemegang gelas strata satu, untuk berani berdiri di atas kaki sendiri. Berani menemukan diri dan identitasnya di tengah masyarakat. Banyak generasi masa depan yang cengeng menghadapi pergulatan hidup. Krisis ekonomi dan minimnya lapangan kerja menjadi kambing hitam. Sejarah disalahkan. Banyak sarjana yang mengalami kelumpuhan daya cipta, lalu lebih memilih frustasi dibanding usaha melakukan perubahan-perubahan. Rela mengeluarkan sekian puluh juta untuk dapat masuk PNS. Tak perlu dipikirkan jika penerimaan PNS oleh pemerintah semata-mata demi mengatasi angka pengangguran yang terus membludak dari tahun-ke tahun. Akibatnya birokrasi menjadi gemuk dan tak efisien. Anggaran belanja negara untuk menggaji birokrasi terus meningkat, karena banyak sarjana yang bermental pengangguran.
Pada akhirnya perguruan tinggi, seakan menjadi lembaga penghasil manusia satu dimensi, yang miskin akan tujuan dan capaian-capaian hidup. Dunia pendidikan seperti menjadi lubang hitam yang memerosokkan para manusia untuk menjadi angka-angka statistik. Anak-anak kampung, yang padamulanya mengerti arti bermasyarakat, arti bertetanggga, begitu kuliah sampai sarjana, harus pergi ke kota untuk mengejar karir dan profesi. Akhirnya kampung-kampung ditinggalkan dalam kesunyian. Ditinggalkan oleh sarjana kesehatan masyarakat, sarjana penyuluhan pertanian, sarjana ekonomi koperasi.
Berkaca pada Eropa
Bangsa ini memang selalu terkesima dengan Eropa dan Amerika. Karena memang disanalah kiblat ilmu pengetahuan dan mataangin peradaban. Di Barat, perkembangan ekonomi, teknologi, dan informasi bergerak begitu pesat. Kapitalisme dan globalisasi tanpa kendat menyerbu semua negara di dunia. Barat memang patut menjadi referensi dan layak konsumsi. Wajar jika mereka kemudian disebut negara maju, dan kita Indonesia, adalah negara berkembang atau negara dunia ketiga.
Karenanya kitapun berusaha mengejar ketertinggalan itu. Setiap perguruan tinggi berbenah untuk menghasilkan para sarjana yang profesional. Ilmu-ilmu eksak dipacu sedemikian rupa, karena itulah yang dianggap satu-satunya jawaban. Para mahasiswa diguyak untuk mengenal teknologi informasi, karena inilah era dunia digital.
Namun alangkah malangnya bangsa ini jika melihat Eropa dan Amerika dengan sepotong-sepotong. Tidak dapat membaca dengan jernih bagaimana ilmu pengetahuan dan peradaban dapat berkembang begitu pesat disana.
Masyarakat Barat sudah menjadi masyarakat yang beradab dan berbudaya, jauh sebelum bangsa kita mengenal tatanan yang mapan. Alam pikir dan akal sehat sudah dirintis sejak abad ke-6 sebelum masehi. Masyarakat Yunani kuno terbiasa memperbincangkan demokrasi dan kebebasan di forum-forum terbuka. Dan abad ke-16, Eropa mengalami masa pencerahan (enllinghtenment). Sebuah masa yang teramat penting, karena ketika itulah Eropa mulai menata kembali alam pikir mereka. Rasionalisme dan empirisme membebaskan masyarakatnya dari dogma-dogma gereja. Ilmu pengetahuan menjadi ihwal yang tak terbendung. Penemuan benda-benda teknologi terus membanjir seiring dengan majunya industrialisasi.
Eropa menjadi maju, karena kaum terpelajarnya terbiasa berfikir dan mencari sampai ke puncak hakikat. Ilmu logika dan filsafat memacu perkembangan ilmu eksakta seperti matematika, fisika, biologi. Begitu pula sebaliknya, filsafat banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu eksakta. Lantaran Charles Darwin menulis buku teori evolusi “Origin of Species”, paham materialisme hampir menguasai separuh Eropa. Perbincangan mengenai eksistensi manusia memang sudah menjadi barang umum para mahasiswa di sana. Karena universitas memang dibuat untuk menciptakan para ilmuwan.
Maka jika menyaksikan bagaimana perguruan tinggi di negeri ini mengejar Eropa, terlalu banyak kiranya ihwal yang perlu dijernihkan. Misalnya bahwa kita harus mampu menghapus jejak pemikiran kolonialistik, yang memang menjadi pondasi sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Pada awal 1920-an ketika Sekolah Tinggi Hukum, Kedokteran dan Teknik dibangun oleh Belanda, semata-mata adalah ditujukan untuk menciptakan tenaga siap pakai, untuk mengisi teknostruktur kolonial, seperti sebagai jurist, dokter dan insinyur (Achmad C Zubair, 1997: xix). Barulah pada tahun 1960-an kita diperkenalkan dengan doktrin “tri darma perguruan tinggi”, yaitu bahwa tugas dan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat, selain sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Dapat dibayangkan, baru empat puluh tahun yang lalu pemerintah negeri ini mengetahui “apa maksudnya” perguruan tinggi. Meskipun “doktrin tri darma” itupun ternyata masihlah enak untuk didengar, daripada dilihat wujudnya. Karena nyatanya mental “siap pakai” itulah yang paling populer di perguruan tinggi sampai kini.
Malu rasanya jika kita membayangkan Jepang. Pada masa Restorasi Meiji, negeri kecil itu menyadari, bahwa untuk maju mereka membutuhkan modernitas. Ilmu pengetahuan dari Barat, mereka serap sampai ke akarnya. Tapi mereka tak lupa akan tradisi. Dan mental Samurai, bukanlah mental murahan. Sehingga dalam waktu singkat, Jepang sudah menjadi negara yang “menakutkan”. Saya sudah menonton film “The Last Samurai” yang dibintangi Tom Cruise, dan beberapa kali saya merinding menyaksikan bagaimana orang Jepang melakukan harakiri dengan airmuka yang bangga dan rasa terhormat, meskipun sakitnya tak terkira.
Malu rasanya kita membayangkan bangsa Jerman. Pasca perang dunia II, negeri itu mengalami kehancuran yang serius. Negaranya dibombardir dan menjadi musuh bersama. Namun tak sampai sepuluh tahun, Jerman sudah kembali bangkit dan menjadi negara maju. Itu juga karena masyarakatnya memiliki mental ilmiah, juga memiliki tradisi yang tak main-main.
Soekarno sendiri sudah menggelisahkan hal itu. Selalu ia tanamkan:”Ini dadaku, mana dadamu?”, “Berdikari!”, “Jasmerah!”. Namun pergururan tinggi kita ternyata lebih menyukai menciptakan sarjana pemburu nasib, ketimbang pemburu dirinya sendiri.
Belajar sampai ke hakikat
Maka hal yang paling penting dari proses pembelajaran di perguruan tinggi, adalah usaha mengantarkan para mahasiswa sampai ke tahap pemahaman akan hakikat ilmu. Bukan hanya hakikat ilmu pada masing-masing fakultasnya, namun hakikat akan ilmu pengetahuan itu sendiri. Mahasiswa haruslah sampai pada pemahaman yang mendasar mengenai anasir nilai-nilai, tidak hanya berhenti pada sekedar pengertian-pengertian, apalagi teks. Penembusan terhadap dimensi yang paling hakiki itulah, yang dapat membuat mahasiswa memiliki logika-logika yang lurus terhadap apa yang dipelajarinya.
Mahasiswa haruslah sanggup membedakan mana hal yang bersifat teknis operasional, dan mana yang bermuatan fundamental. Karena kemampuan aplikatif, tidak menjamin seseorang memiliki kemampuan intelektual yang baik.
Seorang intelektual adalah orang yang memiliki kematangan berfikir, ilmu pengetahuan telah menjadi jiwa. Sehingga mampu menemukan kebijaksanaan (wisdom) dengan cara berfikirnya yang jernih. Serta mampu menyimpulkan sesuatu secara tepat, dengan obyektifitas dan rasionalitas. Pendidikan di perguruan tinggi haruslah terus diarahkan menuju pribadi mahasiswa yang integral, yang berfikir ilmiah dan humanis.
Sudah saatnya kaum terdidik kita memiliki sikap dan berani memperjuangkannya. Karena itulah yang telah menyelamatkan bangsa Jerman dan Jepang. Jika tidak, jangan marah kalau kita terus “dijajah” oleh Barat, karena bermental “merdeka” pun kita tidak.[]
Khairul Anom 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar