2/08/2008

Wasiat Buat Mahasiswa Baru

Kalau kemudian pada akhir wasiat ini aku mengan-jurkan kalian untuk tidak perlu terlalu serius kuliah, ini bukanlah semacam provokasi agar kalian bertingkah laku aneh sebagai mahasiswa. Namun ini semata-mata lahir dari rasa keprihatinan yang mendalam, dari seorang mahasiswa angkatan tua, yang merasa gagal menyelami hakikat ilmu pengetahuan, yang gagal sebagai pribadi dan manusia.

Di universitas kita ini, bola pikiranku justru menjadi mumet dan kehilangan pegangan. Bukan lantaran aku yang terlalu berlagak serius mencari ilmu pengetahuan. Tetapi universitas kita ini yang terlalu bermain-main dalam soal pendidikan, terlalu menganggap murah harga masa depan yang harus dipertaruhkan.

Maka inilah rog-rog asem ku, untuk sekedar mengabarkan kenyataan, bahwa disini banyak kemubaziran.

***

Aku mencari ilmu pengetahuan, tapi yang kudapat adalah ilmu menjadi tenaga profesional. Aku mencari guru yang mencerahkan, tapi yang kudapat adalah dosen instruktur pelatihan. Aku menyaruki buku mencari jendela dunia, tapi justru tersesat di diktat sukses menuju lapangan kerja. Aku menyangka universitas berarti universalitas, tetapi ternyata lembaga kursus sektor riil. Aku ingin menjadi manusia, tapi justru dipersiapkan menjadi pelaku sebuah sistem yang telah diatur ritmenya.

Sampai-sampai aku gegar otak, tak kuasa mem-bayangkan, bahwa ada sekian ribu anak yang lahir sebagai manusia, tapi justru dimesinkan oleh sebuah lembaga, yang seharusnya dipercaya untuk menyempurnakan makna kelahiran itu.

Di universitas kita ini, ilmu pengetahuan seperti gajah yang dicacah-cacah, dibagi menjadi telinga, belalai dan kaki. Dan mahasiswa diberi buntut gajah, sambil diyakinkan bahwa itulah ilmu pengetahuan.

***

Maka inilah teoriku tentang ilmu pengetahuan, yang kudapat dari curi dengar atas orang-orang yang dianggap rongsokan.

“Tercapainya ilmu pengetahuan bukanlah berapa banyak keahlian, kepintaran, keprofesionalan yang didapat. Tetapi seberapa besar tumbuhnya akal sehat dalam diri seseorang. Dan akal sehat itu tercermin melalui keluasan pandang, keteguhan moral, dan kesadaran untuk berbuat.”

Dan aku percaya, bahwa Ilmu pengetahuan bukanlah ihwal yang ‘otomatis’ datang, dari sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan. Lembaga universitas barangkali mampu mengajarkan ilmu ketahuan, seperti keahlian dan ketrampilan. Tetapi ilmu pengetahuan, ia hanya bisa diselenggarakan oleh para pengajar yang memahami hakikat ilmu. Oleh sebuah sistem yang menjembatani pendidikan kepada ilmu pengetahuan.

Maka di universitas kita ini, janganlah kalian terkesima terhadap gelar seperti profesor atau doktor, karena itu bukanlah jaminan bahwa seseorang telah mendapat ‘wahyu’ ilmu pengetahuan. Percayalah bahwa ilmu pengetahuan bukanlah gelar atau lembaga. Tetapi sesuatu yang ada di kepala. Simbol-simbol formal dari pendidikan adalah jalan atau lantaran, untuk mendapat ilmu pengetahuan.

Sebab seseorang yang mendapat ilmu pengetahuan, pastilah memiliki “daya hidup” yang bau-nya bisa tercium oleh orang-orang disekelilingnya. Seorang rektor, dekan, dosen sekalipun, jika dirinya tak mampu menjadi spirit bagi tumbuhnya kesadaran dan akal sehat, maka jabatan itu tak lebih sebagai kelas sosial, prestise, kasta. Dan alangkah banyaknya orang semacam ini, di universitas kita ini.

***

Di fakultas hukum tempatku belajar misalnya, mahasiswa diajarkan cara menjalankan dan menegakkan hukum. Kesuksesan pendidikan diukur dari kemampuan mahasiswa dalam merumuskan prosedur hukum. Tanpa resah bahwa hukum di negeri ini adalah sesuatu yang dibuat oleh kekuasaan, yang dibentuk oleh proses politik.

Pemahaman keadilan telah dilembagakan, untuk diajarkan dan dijalankan. Tanpa peduli bahwa di dunia ini ada 1001 macam keadilan. Tanpa ada kesempatan bagi 1001 kemungkinan keadilan disetiap kepala mahasiswa.

Para mahasiswa dididik, diarahkan, oleh buku, diktat, modul, guru besar, profesor, yang menjadi dasar acuan, daftar pustaka, kerangka pikir, paradigma.

Ilmu hukum diajarkan melalui pelajaran, bukan diajak membaca perilaku dan kenyataan. Keadilan adalah bahan bacaan, bukan penghayatan atas orang-orang yang tersungkur keselokan karena ketidakadilan. Kebenaran? Alhamdulliah sudah tertulis dan tinggal didiktekan. Padahal pertanyaan duluan mana telor dengan ayam, sampai sekarang belum ada disertasi yang mampu menjawabnya.

Ilmu pengetahuan telah dilembagakan. Lembaga menjamin kebenaran. “Jaminan” telah menindas pertumbuhan inisiatif. Mahasiswa dipaksa menjadi makhluk satu dimensi, tanpa cakrawala, dilumpuhkan daya ciptanya. Ilmu pengetahuan dibikin mandek, karena pelajaran tak memberikan kemungkinan. Karena ujian bukan tantangan, melainkan pemeriksaan ulang atas catatan dan hapalan. Sarjana adalah gelar bagi kepatuhan.

***

Sementara para dosen adalah sebenar-benarnya pegawai negeri, yang mengajar karena menjalankan tugas. Tanpa visi, tanpa cita-cita. Hidupnya diatas jadwal, untuk mengajar, menguji, menilai. Tak disuburkan kesadaran bahwa ada sebuah generasi yang harus ia pertanggung-jawabkan. Enggan bermimpi, bahwa ada guru bernama Plato yang melahirkan Aristoteles. Atau sekurang-kurangnya berharap, dari ucapannya akan muncul penghayatan, dari lakunya akan hadir keteladanan.

Wajar jika kini banyak sarjana yang gelap mata, karena ia belajar kacamata kuda, oleh pengajar rabun mata, di fakultas katarak.

Percayalah, pertamakali dosen masuk, yang ia sampaikan adalah kontrak belajar. Soal absensi, persentase nilai, model ujian, mid, miltiple choise, mekanik, robot, arwah, hantu.

***

Maka kalau pada akhirnya aku menganjurkan kalian untuk tidak perlu terlalu serius kuliah, aku sendiripun tidak tahu apakah omonganku ini suatu kebaikan atau justru menyesatkan. Karenya nyatanya, aku toh masih mendapati beberapa pengajar, yang tutur katanya masih meluncur kejernihan. Yang dari airmukanya masih aku tangkap, semacam tangis-perih atas apa yang ku omongkan diatas.

Akhirukalam, demikianlah tulisan yang sebenarnya curhat ini। Kurang dan lebihnya mohon maaf। Kepada Tuhan mohon ampun. खैरुलानोम

Tidak ada komentar: